MA: Ditangkap KPK, Ketua PN Kepahiang Diberhentikan Sementara

Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang pun harus rela promosi jabatannya tidak diteruskan.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 25 Mei 2016, 15:32 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2016, 15:32 WIB
20151030-Gedung-Mahkamah-Agung
Gedung Mahkamah Agung (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memberhentikan sementara Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Bengkulu Janner Purba. Keputusan ini dijatuhkan setelah Janner tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Koperasi (KPK).

"MA mengambil tindakan tegas, memberhentikan sementara dari jabatan," ujar Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi di Gedung MA, Jakarta, Rabu (25/5/2016).

Selain Janner, hakim pengadilan tindak pidana korupsi ad hoc Toton dan panitera pengganti Badarudin Bacshin juga mendapat hukuman serupa. Sebab, mereka pun ikut tertangkap dalam OTT tersebut.

Janner pun harus rela promosi jabatannya tidak diteruskan.

"Kalau dia ditetapkan tersangka, MA memberhentikan sementara, maka promosi akan dihentikan," tegas Suhadi.

Sebelumnya, Satgas KPK melakukan OTT terhadap Ketua PN Kepahiang dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu. Penangkapan diduga terkait dengan korupsi di Rumah Sakit Umum Daerah M Yunus Bengkulu.

Ada lima orang yang jadi tersangka dalam kasus ini yakni hakim tindak pidana korupsi (tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, hakim ad hoc tipikor PN Bengkulu Toton, dan Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.

Lalu ada mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Syafri Syafii, dan mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Edi Santroni.

Janner dan Toton merupakan hakim perkara tipikor RSUD M Yunus yang seharusnya disidang pada hari ini.

Kasus ini bermula saat Junaidi Hamsyah menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr Muhammad Yunus. SK itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas.

Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Akibat SK yang dikeluarkan Junaidi itu, negara diduga rugi Rp 5,4 miliar.

Kasus itu pun bergulir ke persidangan di Pengadilan Tipikor Bengkulu dengan terdakwa Syafri dan Edi. Pada persidangan perkara tersebut, PN Bengkulu kemudian menunjuk tiga anggota majelis hakim yakni Janner, Toton, dan Siti Insirah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya