Liputan6.com, Jakarta - Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun menilai organisasi tata kelola Mahkamah Agung (MA) perlu ada perombakan agar tidak ada lagi pejabatnya yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ini akibat salah kelola. Perlu ada perombakan, terutama masalah promosi dan mutasi," kata Gayus di Jakarta seperti dikutip Antara, Selasa (24/5/2016).
Baca Juga
Menurut dia, kembali terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) hakim, yaitu terhadap Kepala Pengadilan Negeri Kapahiang, Bengkulu, adalah akibat salah kelola yang dilakukan pimpinan MA.
Advertisement
"Organisasi itu ditentukan pimpinan. Pimpinan tidak memperhatikan sehingga ada penangkapan, pencekalan terhadap pejabatnya. Pimpinan tidak boleh membiarkan ini berlarut-larut," kata mantan anggota DPR tersebut.
Gayus mengatakan, perombakan internal MA juga terkait masalah promosi dan mutasi yang harus memperhatikan kemampuan individu dan bukan faktor kedekatan dengan pimpinan.
"Bidang pengawasan harus mengerti pengawasan, bidang pembinaan harus tahu pembinaan. Jangan sampai menempatkan orang salah, di mana hakim tipikor ditempatkan di militer. Ini salah kaprah," kata Gayus.
Ia pun berharap Presiden Joko Widodo bisa turun tangan untuk menerbitkan peraturan pengganti pengganti undang-undang agar dunia peradilan tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat karena banyaknya pejabat dan hakim yang ditangkap KPK.
2 Hakim Jadi Tersangka
Tim Satuan Tugas (Satgas) KPK melakukan operasi tangkap tangan di lima wilayah di Provinsi Bengkulu, Senin kemarin. Dalam operasi itu, KPK menangkap dan menetapkan lima orang sebagai tersangka.
Kelimanya yakni hakim tindak pidana korupsi (tipikor) sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Janner Purba, hakim adhoc Tipikor PN Bengkulu Toton, dan Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Lalu ada mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu Syafri Syafii dan mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu Edi Santroni.
kasus dugaan suap ini terkait dengan sidang perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Dalam perkara itu, Syafri dan Edi duduk menjadi terdakwa.
Perkara ini bermula saat Junaidi Hamsyah yang menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu. SK itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas.
Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Akibat SK yang dikeluarkannya, negara disinyalir mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 miliar. Dalam persidangan dengan terdakwa Edi dan Syafri, PN Bengkulu menunjuk tiga anggota majelis hakim, yakni Janner, Toton, dan Siti Insirah.