ICW Curiga Revisi UU KPK Dipicu Penetapan Tersangka 23 Legislator

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, wacana revisi UU KPK ini bergulir sejak 2010 silam.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 16 Sep 2019, 09:13 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2019, 09:13 WIB
Seruan Lapor Kekayaan, Spanduk Raksasa Dibentangkan di Gedung KPK
Empat orang aktivis bersiap turun untuk membentangkan spanduk raksasa di gedung C Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Senin (26/3). Spanduk ini bertujuan mengimbau para pejabat untuk melaporkan harta kekayaan mereka. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - DPR dan pemerintah telah menyepakati untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya dugaan konflik kepentingan dalam pembahasan dan pengesahan dalam sidang paripurna DPR.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, wacana revisi ini bergulir sejak 2010 silam.

"Dalam naskah perubahan yang selama ini beredar praktis tidak banyak perubahan, narasi penguatan KPK seakan hanya omong kosong saja. Mulai dari penyadapan atas izin Ketua Pengadilan, pembatasan usia KPK, kewenangan SP3, sampai pembentukan Dewan Pengawas," kata Kurnia dalam keterangannya, Jakarta, Senin (16/9/2019).

Dia menuturkan, dalam catatan KPK dari rentang waktu 2003-2018 setidaknya 885 orang yang telah diproses hukum. Dari jumlah itu, 60 persen lebih atau 539 orang berasal dari dimensi politik.

"Dalam catatan ICW sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR RI masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniwan, pun tak luput dari jerat hukum KPK. Hampir seluruh partai politik di DPR periode 2014-2019 sudah pernah terjaring KPK," ungkap Kurnia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Minta Segera Hentikan Pembahasan Revisi

KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). Pemerintahan Provinsi Papua mendapat skor terendah yaitu 52,91. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Dia juga menuturkan, perkara yang sedang ditangani oleh KPK, banyak melibatkan anggota DPR. Salah satu contohnya adalah kasus KTP Elektronik (e-KTP).

"Atas narasi di atas maka wajar jika publik sampai pada kesimpulan bahwa DPR terlihat serampangan, tergesa-gesa, dan kental nuansa dugaan konflik kepentingan. Selain dari waktu pembahasan yang tidak tepat, substansinya pun menyisakan banyak perdebatan, dan secara kelembagaan KPK memang tidak membutuhkan perubahan UU," jelas Kurnia.

Karena itu, pihaknya memina agar DPR segera hentikan pembahasan revisi UU KPK. Akan jauh lebih bijaksana, lanjut dia, jika DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi. Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai.

"Seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya