Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan larangan mudik guna mencegah penyebaran Corona Covid-19. Meski begitu, sanksi bagi warga yang nekat tetap ingin mudik ke kampung halaman masih disusun.
Sosiolog asal UNJ Ubedilah Badrun berpendapat, sanksi yang paling tepat bagi mereka yang nekat mudik itu bersifat edukatif.
Baca Juga
Sebab, kata dia, pemerintah tidak memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dalam kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB.
Advertisement
"Saya menyarankan karena PSBB itu kebijakan yang tidak dibarengi dengan jaminan kebutuhan dasar semua penduduk di satu wilayah, maka sanksi bagi yang mudik lebih efektif jika sanksinya bersifat edukatif," ujar Ubedilah kepada Merdeka, Rabu (22/4/2020).
Dia menjelaskan, sanksi yang dimaksud misalnya rombongan atau individu yang mudik ditangkap, lalu dimasukan ke hotel atau suatu tempat untuk dikarantina selama dua minggu. Mereka yang nekat mudik itu juga diberikan penjelasan dan pelatihan yang bermanfaat sesuai kebutuhan.
"Dan mereka dijamin kebutuhannya selama 14 hari itu. Hukuman itu pun harus dituangkan dalam aturan dan diumumkan kepada publik," jelas Ubedilah.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sanksi Sulit Diterapkan
Sementara itu, menurut Sosiolog UNAS Sigit Rochadi, sanksi terhadap pemudik sulit diterapkan. Sebab, pulang kampung merupakan tradisi warga Indonesia.
"Sulit menerapkan sanksi karena mudik merupakan tradisi, ritual, silaturahmi antar saudara. Larangan pemerintah tidak akan efektif. Sejak beberapa minggu ini mudik sudah berlangsung," kata Sigit.
Sigit menilai, pemerintah baiknya melakukan cara lain daripada memberikan sanksi. Di antaranya, kata dia, meningkatkan pengawasan secara terus menerus oleh aparat di berbagai level.
"(Kemudian) memberi insentif bagi yang tidak mudik, memeriksa kesehatan secara intensif pemudik di pos-pos kesehatan yang disiapkan," tutup Sigit.
Â
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber : Merdeka
Advertisement