Penyitaan Aset Pihak Ketiga Terkait TPPU Diharapkan Tak Melanggar Ketentuan Hukum

Maraknya kasus keberatan pihak ketiga ke PN Tipikor terkait putusan penyitaan aset pihak ketiga menjadi sorotan sejumlah pihak.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Mar 2021, 09:04 WIB
Diterbitkan 02 Mar 2021, 05:52 WIB
Juniver Girsang dalam Munas Peradi di Ancol, Jakarta Utara
Ketua Peradi Juniver Girsang dalam Munas III di Ancol, Jakarta Utara (28/2/2020)

Liputan6.com, Jakarta - Maraknya kasus keberatan pihak ketiga ke PN Tipikor terkait putusan penyitaan aset pihak ketiga menjadi sorotan sejumlah pihak. Sejumlah praktisi dan pakar hukum menilai fenomena ini menunjukkan ada kesalahan dalam prosedur penyitaan dan putusan perampasan aset yang terjadi dalam proses penanganan dan penegakan hukum perkara Tipikor dan TPPU.

Hukum pidana Indonesia juga dinilai sangat terbatas mengatur mengenai perlindungan hukum pihak ketiga. Terutama dalam hal kaitannya dengan penyitaan aset milik atau dikuasai pihak ketiga. Jika tidak dikelola dengan baik, maraknya gugatan-gugatan perdata dikhawatirkan bisa menimbulkan persepsi tidak baik bagi penegakan hukum di Indonesia.

Hal itu terungkap dalam Webinar bedah buku yang mengangkat tema: “Perlindungan Hukum Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Atas Harta Kekayaan Dalam Perkara Pidana” yang diselenggarakan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Senin 1 Maret 2021.

Praktisi yang juga pakar hukum pidana, A Patra M Zen yang menjadi salah satu nara sumber mengatakan, seringkali penyitaan terhadap aset-aset dalam suatu perkara dilakukan tanpa melalui proses verifikasi dan hanya berdasarkan keterangan saksi. Padahal putusan untuk merampas aset; apakah itu merupakan barang bukti atau pun aset yang diduga terkait tindak pidana harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan dan verifikasi.

“Sering kali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset,” ujarnya.

Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak lain; dalam hal ini pihak ketiga yang beritikad baik dalam suatu perkara. Kata Patra, Pasal 19 UU Tipikor sebetulnya bisa menjadi jalan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan perdata. Namun diakui hanya sedikit mengatur mengenai perlindungan pihak ketiga.

Hal lain yang menjadi persoalan pasal 19 UU Tipikor adalah menyangkut definisi pihak ketiga beritikad baik, yang tidak secara tegas diatur dalam hukum pidana. Namun berdasarkan kajiannya, definisi pihak ketiga beritikad baik– kaitannya dengan hak atas harta kekayaan – adalah harta diperoleh dengan jujur dan wajar.

“Namun masalahnya mereka tidak pernah dihadirkan dan diperiksa untuk membuktikan harta kekayaan yang disita dalam sidang perkara terdakwa,” ujar dia.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Harus Penuhi Kriteria

Sementara itu praktisi dan pakar hukum Juniver Girsang mengatakan, Pasal 19 UU Tipikor prinsipnya merupakan perintah aktif bagi hakim dalam menangani perkara keberatan. Di mana dalam putusannya hakim harus melihat bahwa barang sitaan harus memenuhi kriteria yang diatur dalam pasal 39 ayat 1 KUHAP juncto pasal 18 UU Tipikor pasal 1 yang mengatur mengenai kriteria barang atau aset yang bisa disita.

Diakui, pengertian mengenai pihak ketiga beritikad baik dalam konsep hukum pidana belum diatur secara jelas dan sering menimbulkan penafsiran dan pemahaman berbeda-beda. Namun dalam konteks TPPU Undang-UndangNo 8/ 2020 tentang TPPU mengatur pihak ketiga yang beritikad baik bisa didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya; baik itu placement atau penempatan, layering atau penyamaran dan proses integration atau penempatan kembali hasil tindak pidana asal (korupsi).

Menurut Juniver, pihak ketiga beritikad baik juga dikategorikan sebagai mereka yang tidak menyadari keberadaannya digunakan atau dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Serta tidak memiliki hubungan dan tidak dalam kekuasaan atau pun perintah pelaku TPPU.

Juniver menambahkan, Pasal 19 Tipikor memang memberi ruang perlindungan hukum pihak ketiga dalam hal penyitaan atau perampasa naset, namun masalahnya belum ada hukum acara yang jelas yang mengatur soal tata cara keberatan pihak ketiga dalam hal asetnya yang ikut terampas

“Apakah mengacu ke hukum acara perdata atau murni pidana. Masalah lainnya muncul bagaimana proses satu keberatan diperiksa sementara perkara pokoknya masih berjalan. Persoalan lain juga muncul jika dua proses peradilan itu memutuskan hasil yang bertentangan. Mana putusan yang akan menjadi pegangan?” ujarnya.

Di sisi lain, ada azas dalam hukum yang dianut bahwa hukum pidana yang terdepan diberlakukan. Mengacu belum memadainya hukum acara dan kriteria mengenai pihak beritikad baik, Juniver sepakat bahwa pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik sah harus diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta benda yang disita benar-benar miliknya. Pemeriksaan dan pembuktian dilakukan secara simultan dengan proses persidangan perkara pidananya.

“Ini harus dilakukan agar tidak terjadi dualisme putusan,” ujarnya.

Seperti diketahui, saat ini ada lebih 102 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor Jakarta terkait perampasan aset yang melibatkan ribuan pihak dalam kasus korupsi dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Termasuk diantaranya keberatan dari 26 ribu lebih nasabah pemegang polis asuransi PT Wanaartha yang sub rekening efeknya disita.

Gugatan juga muncul darisejumlah investor dan perusahaan yang melakukan investasi di bursa, pascaputusan pengadilanTipikor yang merampas aset berupa saham, rekening efek dengan dugaan ada kaitannya dengan aliran dana dari para terpidana dalam megakorupsi tersebut.

Hingga kini proses sidang-sidang keberatan tersebut masih berlanjut dan belum ada satu pun yang diputus.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya