Survei KedaiKOPI: Penegakan Hukum Oleh Kejaksaan Masih Dianggap Timpang

Lembaga Survei KedaiKOPI menyebut, masih terjadi ketimpangan perlakuan atau disparitas penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu.

oleh Yopi Makdori diperbarui 13 Agu 2021, 12:30 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2021, 12:30 WIB
[Bintang] Ilustrasi Hukum
Ilustrasi Hukuman (Sumber Foto: Pexels)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Survei KedaiKOPI menyebut, masih terjadi ketimpangan perlakuan atau disparitas penegakan hukum dan penanganan perkara yang dilakukan oleh institusi Kejaksaan pada kasus-kasus tertentu. Hal ini ditemukan dari hasil survei oleh lembaga tersebut.

"Sebanyak 59,5 persen dari responden di seluruh Indonesia menganggap disparitas atau ketimpangan perlakuan yang cenderung tidak adil dalam penegakan hukum di kejaksaan sangat besar," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo dalam keterangan tulis, Kamis 12 Agustus 2021.

Responden menilai, masih ada ketidakadilan hukum yang masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.

"Disparitas hukum dipersepsi terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia yang harus menjadi perhatian kejaksaan dan pemerintah," ucap Kunto.

Selain itu, sebanyak 71,7 persen responden di seluruh Indonesia menganggap telah terjadi disparitas perlakuan hukum terhadap eks Jaksa Pinangki.

Terbukti dengan adanya tuntutan hukuman yang rendah serta tidak diajukannya kasasi atas putusan hakim oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan utama persepsi warga tentang disparitas hukum tersebut.

Founder KedaiKOPI yang juga analis komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan, 71,2 persen warga Indonesia menganggap tuntutan JPU terhadap Pinangki terlalu ringan.

Sementara 61,6 persen tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, dan 65,6 persen menganggap ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki.

"Ini karena Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya," papar Hendri.

 


Persepsi Hukuman Jaksa Pinangki

20150729-hukuman mati
Ilustrasi hukuman mati.

Hendri Satrio menambahkan, di dalam survei ini mayoritas publik atau 79,6 persen, memiliki persepsi bahwa telah ada ‘bantuan orang dalam’ sehingga Pinangki kemudian mendapatkan hukuman yang rendah.

Berangkat dari persepsi kasus Pinangki tersebut, lanjut dia masyarakat akhirnya menilai bahwa disparitas hukum atau pidana yang terjadi di tubuh institusi Kejaksaan di seluruh Provinsi di seluruh pelosok negeri ini ternyata sangat tinggi.

"Terdapat 59,5 persen responden yang menganggap disparitas hukum di Provinsi mereka (responden) sangat besar," tukas Hendri Satrio.

Kunto kembali menjelaskan, alasan responden memberikan penilaian adanya disparitas hukum yang besar ini terlihat dari hasil survei mengungkapkan bahwa hukum masih bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Efek lain dari skandal kasus Pinangki adalah kesetujuan masyarakat yang tinggi terhadap permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Presiden Jokowi untuk memberhentikan Jaksa Agung ST. Burhanudin.

Terdapat 81,7 persen responden yang setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan menurunnya performa kejaksaan (30,8 persen), tidak transparan dalam penanganan kasus (22,7 persen), dan dianggap terlibat dalam kasus Pinangki (9 persen).

Sedangkan 18,3 persen responden tidak setuju dengan permintaan ICW tersebut dengan alasan antara lain, belum terbukti terlibat (12 persen) dan kinerjanya masih baik (10,5 persen).

"Secara umum, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan ST. Burhanudin di Kejaksaan relatif rendah, hal tersebut terlihat dari 61,8 persen menyatakan tidak puas akan kinerjanya memimpin institusi Kejaksaan," ujar Kunto.

"Dari hasil survei juga tampak bahwa 59,8 persen lapisan masyarakat menyangsikan komitmen Jaksa Agung ST. Burhanudin dalam melaksanakan reformasi birokrasi di Kejaksaan," imbuh Kunto.

 


Metode Survei

Ilustrasi Hukum
Ilustrasi hukum. (dok. Bill Oxford/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Survei Kata Publik Tentang Kinerja Kejaksaan ini dilakukan secara daring oleh Lembaga Survei KedaiKOPI pada tanggal 22-30 Juli 2021 di 34 Provinsi dengan menjaring 1047 responden.

Jumlah responden proporsional berdasarkan besaran populasi di setiap provinsi dengan sampel yang cenderung lebih besar laki-laki (55,2 persen) dari pada perempuan (44,8 persen), sebagian besar adalah generasi milenial dengan usia 25-40 tahun (45,5 persen) disusul oleh generasi Z dengan usia 17-24 tahun (31,8 persen) sebagai pengguna internet terbesar di Indonesia.

Tingkat pendidikan sampel survei ini relatif lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu 40,8 persen lulusan S1 atau D4 dan 41,5 persen adalah lulusan SLTA atau sederajat. Survei ini diklaim didanai secara internal oleh Lembaga Survei KedaiKOPI.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya