Liputan6.com, Jakarta Polri mengklaim pemeriksaan menggunakan pendeteksi kebohongan atau lie detector laik dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.
Alat pendeteksi kebohongan digunakan oleh Polri untuk memeriksa lima tersangka dan satu orang saksi kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J.
Advertisement
Baca Juga
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi menerangkan, alat lie detector kepunyaan Polri buatan dari Amerika dan telah digunakan Puslabfor Polri sejak tahun 2019.
Dedi menyebut, alat pendeteksi kebohongan tersebut memiliki tingkat akurasi mencapai 93 persen
"Alat yang kita punya ini alat dari Amerika tahun 2019 dan tingkat akurasinya 93 persen," kata Dedi saat konferensi pers, Rabu (7/9/2022).
Karena itu, hasil polygraph atau lie detector dinilai memiliki kekuatan hukum. Sebab, tingkat akurasi mencapai 93 persen. Hal ini berdasarkan komunikasi dengan Puslabfor dan juga operator polygraph.
"Kenapa saya bisa sampaikan pro justitia? Karena tingkat akurasi 93 persen. Kalau di bawah 90 persen itu tidak masuk dalam ranah pro justitia," ujar dia.
Sehingga, kata Dedi penyidik yang berhak mengungkap hasil ke publik termasuk di persidangan.
Ferdy Sambo Sulit Bebas
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan empat tersangka lainnya sulit bebas dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Empat tersangka lain dalam kasus ini antara lain Bharada E, Bripka RR, Kuat Maruf, dan istri Sambo, Putri Candrawathi.
"Saya kira tidak (bisa bebas) karena pembunuhan itu terjadi di rumah FS (Ferdy Sambo)," ujar Fickar dalam keterangannya, Rabu (7/9/2022).
Fickar menyebut, semua tersangka berada di rumah dinas Ferdy Sambo saat peristiwa terjadi. Menurutnya, mereka semua bisa didudukkan sebagai tersangka dengan perannya masing-masing.
"Minimal orang yang tidak melakukan apa-apa bisa dijerat dengan pasal pembiaran, membiarkan terjadinya tindak pidana tanpa upaya nencegah," kata dia.
Advertisement
Peran Masing-masing
Fickar menegaskan semua tersangka, termasuk Sambo bisa dijerat pidana dengan peran masing-masing.
"Baik sebagai pelaku utama, pelaku pembantu atau orang yang membiarkan, bahkan menyembunyikan peristiwa pidana," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik khawatir proses hukum pembunuhan Brigadir J seperti kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah. Pasalnya, para tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J memberikan keterangan yang berbeda-beda, mirip dengan para terdakwa di kasus Marsinah.