Mahfud MD: Sederet Revisi UU Indikasi Berbagi Kekuasaan, Kompensasi Kue Politik

Mahfud MD mengomentari revisi UU MK, UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU Kepolisian bahkan muncul wacana revisi UU TNI yang seperti kejar tayang dilakukan Pemerintah dan DPR RI.

oleh Tim News diperbarui 29 Mei 2024, 17:55 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2024, 17:53 WIB
Mahfud MD ketika menjawab pertanyaan host pada podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (28/5/2024) (Istimewa)
Mahfud MD ketika menjawab pertanyaan host pada podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (28/5/2024) (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Mahfud MD mengomentari revisi UU MK, UU Penyiaran, UU Kementerian Negara, UU Kepolisian bahkan muncul wacana revisi UU TNI yang seperti kejar tayang dilakukan Pemerintah dan DPR RI. Ia berpendapat, itu jadi salah satu langkah mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan untuk bekal pemerintahan yang baru.

"Kita sebagai masyarakat bisa mengambil kesimpulan yang sederhana saja, ini sedang mengambil kesempatan untuk melakukan akumulasi kekuasaan yang akan dijadikan bekal kepada pemerintah baru nanti. Apa akumulasi kekuasaan itu? Tujuannya bagi-bagi kekuasaan, kompensasi kue politik bagi mereka yang dianggap berjasa atau untuk merangkul kembali," kata Mahfud ketika menjawab pertanyaan host pada podcast 'Terus Terang' di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (28/5/2024).

Menkopolhukam periode 2019-2024 itu menilai, walau langkah seperti itu bisa bagus dan bisa pula tidak, saat ini cara-cara seperti lebih banyak tidak bagusnya. Sebab, cuma akan menimbulkan hal-hal lain yaitu tentang pengendalian oleh pemerintah terhadap kekuatan masyarakat sipil memberikan kritik konstruktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal itu dikarenakan semua sudah dipagari dengan Undang-Undang (UU). Mahfud merasa, itulah sebenarnya salah satu contoh proses rule by law, bukan rule of law. Jika proses rule of law pemerintah bekerja berdasarkan hukum yang ada, proses rule by law justru kehendak-kehendak pemerintah diatur sedemikian rupa agar memiliki hukum yang mengikat.

Hal itu membuat pemerintahan yang berkuasa akan sulit dilawan atau sulit dibantah melalui struktur-struktur hukum yang tersedia. Kondisi itu sama seperti rencana perpanjangan usia TNI/Polri atau usulan UU lain yang dapat pula dilihat dalam kerangka yang sama. Karenanya, Mahfud berpendapat, cukup wajar jika masyarakat sipil berprasangka negatif.

"Sangkanya begini, akan terjadi sentralisasi kekuasaan, mudah melakukan kontrol terhadap aktivitas dan kritik-kritik masyarakat sipil, mudah melakukan cincai. Maaf ini, kolaborasi antara penjahat dan pejabat korup, nanti ada orang jahat tinggal diatur saja, tidak usah, nanti pakai pasal itu saja, oh ini ada dasar hukumnya, oh ini dan seterusnya," ujar Mahfud.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Sentralisasi Kekuasaan

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu memberi contoh penerapan sentralisasi kekuasaan tersebut. Misalnya, dilakukan dengan membungkam MK, membungkam hakim-hakim, lalu dibuat ada pejabat-pejabat memberikan penjelasan kalau sesuatu yang dilakukan penguasa itu telah benar sesuai aturan-aturan yang sebelumnya sudah dibuat.

Mahfud mengingatkan, selama ini sudah banyak pula peristiwa yang terkait aparat satu dan aparat lain yang menjadi backing kejahatan-kejahatan tertentu. Sama dengan yang sedang ditangani aparat-aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan selalu ada dugaan-dugaan seperti itu.

Contoh yang sering terjadi tidak lain hilangnya satu kasus yang begitu besar sekalipun ada barang bukti. Misalnya, ada pihak-pihak yang menyetorkan uang ke pejabat-pejabat, setelah ramai diberitakan lalu kasusnya hilang begitu saja walau barang bukti kejahatan berupa uang sudah begitu jelas ada, bahkan secara terang-terangan ada yang mengembalikan.

"Prasangka kita uangnya ke mana ya, kemarin ada orang mengatakan ini ada uang tidak jelas sebesar Rp 27 M, lah kasus uangnya ada dikembalikan tapi orangnya tidak diketahui, terus ke mana uang itu, bagaimana pertanggungjawabannya dan seterusnya orang akan lupa dan itu banyak, banyak kasus-kasus itu diduga uang sekian lalu kasusnya tidak ada, seperti yang diumumkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," kata Mahfud.

Tahun lalu, Anggota DPR RI periode 2004-2008 itu menambahkan, masih begitu hangat di ingatan ada pula laporan uang mengalir ke partai politik, lalu menjadi ramai karena sudah dibicarakan publik dan diberitakan media masa. Sayangnya, kasusnya tidak dapat terbuka dan seakan menghilang begitu saja walau dilaporkan lembaga-lembaga negara sekalipun.

"Nah, aturan-aturan yang seperti itu nanti bisa dijadikan alat untuk kolaborasi antara pejabat birokrasi dan aparat penegak hukum, bisa dijadikan itu, atau antara pejabat korup birokrasi dengan penjahat yang ada di luar, itulah yang saya kira membahayakan," ujar Mahfud.

Semua itu disampaikan Mahfud MD dalam podcast 'Terus Terang' yang tayang di kanal YouTube 'Mahfud MD Official' setiap pekan. Di podcast Terus Terang, Mahfud memberikan pandangan terkini tentang berbagai agenda-agenda penting bangsa.

Soal penegakan hukum dan keadilan, pemberantasan korupsi, merawat demokrasi serta menegakan etika moral dalam berbangsa dan bernegara. Seperti ciri khasnya, Mahfud menyampaikan pandangan dengan apa adanya dan secara terus terang.

 

Infografis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Jauh di Bawah Negeri Jiran. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Jauh di Bawah Negeri Jiran. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya