Siapa yang tak kenal dengan kenikmatan kopi Aceh? Hampir semua orang Indonesia tentu mengenalnya. Bahkan lidah masyarakat internasional sudah mengakui harum dan nikmatnya kopi Aceh.
Salah satu penghasil kopi terbesar di Aceh adalah dataran tinggi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Di Bumi Gayo inilah, tanah-tanah suburnya menghasilkan biji-biji kopi berkualitas.
Kini perkebunan-perkebunan kopi di Aceh Tengah banyak yang rusak. Selain itu, masyarakat Gayo sebetulnya juga sudah dirundung masalah terkait harga kopi. Sepanjang April 2013, harga kopi turun drastis.
Buah kopi merah (glondongan) dihargai hanya Rp 5.500 per bambu. Padahal 2 minggu sebelum awal April itu harga kopi merah juga sudah turun menjadi Rp 6.500 dari Rp 7.000 per bambu.
Bertani kopi pun kini terasa sulit dilakukan lagi. Kebun-kebun kopi di Aceh Tengah dan juga Bener Meriah longsor akibat guncangan gempa 6,2 skala Richter Selasa 2 Juli 2013 lalu.
"Kebun-kebun banyak yang longsor. Kita sendiri belum mengecek ke kebun. Tak berani, karena sudah longsor. Padahal tanah di sini tanah subur. Apa saja ditanam tumbuh dengan hasil yang baik," ucap Zaelani, salah satu petani kopi yang menjadi korban gempa di Kecamatan Ketol, di Posko Tanggap Darurat Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.
Tentu musibah ini membuat masyarakat Gayo yang jadi korban gempa kebingungan. Perkebunan kopi yang jadi usaha utama mereka lenyap. Mereka pun tak tahu dapat pemasukan dari mana lagi ke depannya.
"Di kebun kita kan tak hanya kopi. Ada tanaman lain, misalnya tomat, cabe, tebu. Tapi usaha sampingan kita itu juga sekarang ikut hancur," urai pria yang tinggal dan berkebun kopi di Desa Gute Glime, Ketol.
Hal senada juga diutarakan Kartini (52), korban gempa warga Takengon, Aceh Tengah. Kartini bahkan mengibaratkan, masyarakat Gayo seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Turunnya harga kopi sebenarnya sudah membuat perekonomian mayoritas masyarakat Aceh Tengah jadi lesu. Kini ditambah dengan hancurnya kebun-kebun kopi. Makin bertambah pula kesulitan mereka.
Kartini mengungkapkan, biji kopi putih (biji hasil olahan dari buah kopi merah) per kaleng saat ini harganya tak sampai Rp 50 ribu. Padahal tahun lalu, biji kopi putih bisa mencapai Rp 120 ribu per kaleng.
"Ya, musibah di Aceh Tengah sekarang ini belum berhenti. Sudah jatuh tertimpa tangga pula," papar Kartini.
"Tahun lalu kita kalau sekali panen kopi itu bisa beli motor, bukannya mau sombong. Tapi sekarang mau tak mau kita harus jual dengan harga sangat murah. Daripada tak ada pemasukan sama sekali. Kami harap pemerintah daerah sini juga sigap membantu masyarakat. Bukan cuma urusi politik saja," tutur perempuan yang sudah punya dua anak ini.
Zailani dan Kartini tentu berharap, usai musibah gempa tersebut masyarakat Gayo bisa bangkit lagi. Berkebun kopi lagi. Dan menghasilkan kopi berkualitas lagi seperti sedia kala. (Tnt/Yus)
Salah satu penghasil kopi terbesar di Aceh adalah dataran tinggi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Di Bumi Gayo inilah, tanah-tanah suburnya menghasilkan biji-biji kopi berkualitas.
Kini perkebunan-perkebunan kopi di Aceh Tengah banyak yang rusak. Selain itu, masyarakat Gayo sebetulnya juga sudah dirundung masalah terkait harga kopi. Sepanjang April 2013, harga kopi turun drastis.
Buah kopi merah (glondongan) dihargai hanya Rp 5.500 per bambu. Padahal 2 minggu sebelum awal April itu harga kopi merah juga sudah turun menjadi Rp 6.500 dari Rp 7.000 per bambu.
Bertani kopi pun kini terasa sulit dilakukan lagi. Kebun-kebun kopi di Aceh Tengah dan juga Bener Meriah longsor akibat guncangan gempa 6,2 skala Richter Selasa 2 Juli 2013 lalu.
"Kebun-kebun banyak yang longsor. Kita sendiri belum mengecek ke kebun. Tak berani, karena sudah longsor. Padahal tanah di sini tanah subur. Apa saja ditanam tumbuh dengan hasil yang baik," ucap Zaelani, salah satu petani kopi yang menjadi korban gempa di Kecamatan Ketol, di Posko Tanggap Darurat Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.
Tentu musibah ini membuat masyarakat Gayo yang jadi korban gempa kebingungan. Perkebunan kopi yang jadi usaha utama mereka lenyap. Mereka pun tak tahu dapat pemasukan dari mana lagi ke depannya.
"Di kebun kita kan tak hanya kopi. Ada tanaman lain, misalnya tomat, cabe, tebu. Tapi usaha sampingan kita itu juga sekarang ikut hancur," urai pria yang tinggal dan berkebun kopi di Desa Gute Glime, Ketol.
Hal senada juga diutarakan Kartini (52), korban gempa warga Takengon, Aceh Tengah. Kartini bahkan mengibaratkan, masyarakat Gayo seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Turunnya harga kopi sebenarnya sudah membuat perekonomian mayoritas masyarakat Aceh Tengah jadi lesu. Kini ditambah dengan hancurnya kebun-kebun kopi. Makin bertambah pula kesulitan mereka.
Kartini mengungkapkan, biji kopi putih (biji hasil olahan dari buah kopi merah) per kaleng saat ini harganya tak sampai Rp 50 ribu. Padahal tahun lalu, biji kopi putih bisa mencapai Rp 120 ribu per kaleng.
"Ya, musibah di Aceh Tengah sekarang ini belum berhenti. Sudah jatuh tertimpa tangga pula," papar Kartini.
"Tahun lalu kita kalau sekali panen kopi itu bisa beli motor, bukannya mau sombong. Tapi sekarang mau tak mau kita harus jual dengan harga sangat murah. Daripada tak ada pemasukan sama sekali. Kami harap pemerintah daerah sini juga sigap membantu masyarakat. Bukan cuma urusi politik saja," tutur perempuan yang sudah punya dua anak ini.
Zailani dan Kartini tentu berharap, usai musibah gempa tersebut masyarakat Gayo bisa bangkit lagi. Berkebun kopi lagi. Dan menghasilkan kopi berkualitas lagi seperti sedia kala. (Tnt/Yus)