OPINI: Merajut Kembali Solidaritas Kebangsaan Kita

Seruan ini menjadi alternatif yang menyejukkan bagi narasi bernuansa sentimen identitas yang berkembang dominan selama masa kampanye.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2019, 11:23 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2019, 11:23 WIB
Ilustrasi Satu Nusa Satu Bahasa
Ilustrasi Satu Nusa Satu Bahasa

Liputan6.com, Jakarta - "Mari kita sudahi kompetisi ini dengan semangat rekonsiliasi, menghimpun semua komponen bangsa dalam kapal besar Indonesia yang guyub dan rukun, dalam keberagaman dan perbedaan di antara kita," kata Agus Harimurti Yudhoyono dalam pidato politiknya di Surabaya tanggal 13 April 2019.

Meski dilakukan pada penghujung masa kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2019, pidato politik ini agak berbeda dengan kebanyakan pidato politik dari para politisi lain. Pidato AHY ini lebih merupakan seruan pada seluruh bangsa, baik pada para elite dari berbagai latar belakang politik, maupun akar rumput di seluruh Nusantara. Seruan ini diamini dan juga digemakan oleh politisi dari partai-partai politik lain, walaupun AHY bicara dalam kapasitas sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat.

Seruan ini menjadi alternatif yang menyejukkan bagi narasi bernuansa sentimen identitas yang berkembang dominan selama masa kampanye, dengan nada yang membelah: 'kami' vs 'kalian'. Ini terefleksi misalnya dalam slogan-slogan seperti kebinekaan versus keislaman, pro-NKRI versus pro-khilafah dan sejenisnya yang bersifat hitam putih serta menutup ruang dialog.

Terjebak Pandangan yang Homogen

Fenomena ini, jelas terlihat dalam pemetaan percakapan di media sosial (social media network analysis) selama masa kampanye sejak September 2018 hingga April 2019. Pemetaan yang berbasis teknologi big data memperlihatkan dua cluster besar yang terpisah, sesuai pilihan capres-cawapres.

Masing-masing cluster riuh dengan percakapan organik (dilakukan oleh manusia/human accounts) maupun non-organik (dilakukan oleh mesin/bot accounts). Tapi riuhnya percakapan ini hanya terjadi antara akun-akun dalam cluster yang sama, hampir tidak ada percakapan antar-cluster.

Dengan kata lain, meski riuh, percakapan dalam tiap cluster cenderung bersifat menguatkan pandangan yang serupa. Ketiadaan percakapan antar-cluster mencerminkan ketiadaan dialog dari pandangan yang berbeda. Sunstein (2009) menyebut ini sebagai echo chamber effect, yaitu interaksi sosial yang hanya bergaung dalam kelompok yang punya pandangan serupa saja.

Dalam kehampaan dialog ini, keberagaman menjadi kutukan, padahal kita mewarisi kebinekaan sebagai berkah dan kekayaan bangsa. Pemerintah yang harusnya menjadi jembatan dialog di antara berbagai pandangan yang berbeda-beda, sengaja atau tidak, menjadi bagian dari cluster yang berseberangan pendapat.

Fenomena ini juga terasa pada diskusi-diskusi melalui layanan pesan seperti WhatsApp, Telegram, Line dan lain-lain. Grup-grup percakapan yang semula akrab dan saling memperkaya berubah. Perbedaan pendapat menajam dan dibawa ke hati -- baper (bawa perasaan), kata anak sekarang. Caci maki tak terhindarkan, tak jarang membuat anggota grup dikeluarkan atau keluar sendiri dan membentuk grup yang berpandangan sama.

Akibatnya grup-grup percakapan yang semula heterogen makin lama makin homogen dari sisi pandangan politik. Grup-grup ini riuh, aktif bercakap-cakap sepanjang waktu, tapi hanya asyik di kalangannya sendiri, tidak ada perspektif atau pandangan lain yang memperkaya dari sudut pandang berbeda.

Ketegangan di dunia maya ini bahkan merambat ke dunia nyata. Ada banyak kasus pertengkaran di dalam grup layanan pesan atau media sosial berujung pada perkelahian atau perusakan fisik. Di Gorontalo misalnya, terjadi tragedi karena jenazah yang sudah lebih dari 20 tahun dimakamkan terpaksa harus dipindah hanya karena keluarga almarhum dan keluarga pemilik tanah berbeda pilihan politik pada partai. Di Madura, jatuh korban jiwa akibat perselisihan gara-gara status terkait pemilu presiden di media sosial.

Memang sekilas ini seperti insiden yang terpisah-pisah, tidak berhubungan satu sama lain. Tapi jika kita melihat akar konflik horizontal dalam berbagai kerusuhan massal di sejumlah daerah di masa lalu, juga dimulai dari insiden-insiden fisik yang sekilas terjadi secara sporadis dan tidak berkolerasi satu sama lain. Kita tentu tidak ingin ketegangan akibat perbedaan pilihan presiden maupun pilihan partai politik menjadi api dalam sekam yang bisa membuat Indonesia kembali membara dalam konflik horizontal.

Dari sejarah kita sudah belajar betapa mahalnya konflik horizontal antar suku, ras, agama maupun etnis disamping korban harta dan jiwa. Kerugian yang lebih besar adalah terkoyaknya semangat persatuan dan kesatuan antar sesama warga bangsa yang bisa diturunkan dari generasi ke generasi sehingga memelihara prasangka SARA ini sampai puluhan tahun kemudian.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Peluang Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrasi Merawat Persatuan
Ilustrasi Merawat Persatuan

Saat ini, Indonesia sedang mulai mengalami bonus demografi yang ditandai oleh makin besarnya jumlah orang-orang yang berusia produktif dibanding dengan anak-anak dan orang tua. Diperkirakan bonus demografi ini akan memuncak pada tahun 2030 dan menjadi modal besar bagi Indonesia untuk masuk ke dalam jajaran empat besar ekonomi dunia.

Sebagaimana yang diprediksi oleh berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menunjukkan tren naik yang juga menjadi modal besar.

Tetapi, semua modal ini bisa sia-sia jika bangsa Indonesia justru tersaruk-saruk dan menghabiskan energi maupun waktu untuk berulang kali mengatasi konflik sosial dan menyembuhkan luka-lukanya. Harganya terlalu besar bagi kita, jika harus jatuh lagi dalam lubang konflik horizontal karena SARA. Padahal kita punya cita-cita mencapai kejayaan Indonesia pada tahun 2045, 100 tahun setelah kemerdekaan.

Cukup Satu dari 10 Orang

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Semua warga bangsa bisa berpartisipasi dalam kapasitas masing-masing untuk kembali merajut semangat kebangsaan dan kesatuan kita. Riset menunjukkan, tipping point, yaitu kondisi saat perubahan bisa bergulir dengan sendirinya bisa dicapai jika 10 persen dari komunitas atau masyarakat yang terlibat ikut bersama-sama menyuarakan pandangan yang senada.

Cukup satu dari setiap 10 orang Indonesia untuk gigih dan konsisten terus menyuarakan semangat persatuan dan kesatuan, mendahulukan mencari titik temu daripada titik beda, merayakan keberagaman sebagai kekayaan dan bukannya beban bangsa melalui percakapan dan kegiatan yang positif di dunia nyata maupun di dunia maya.

Gerakan gotong royong merajut kebangsaan dan kebinekaan ini niscaya akan makin efektif manakala mayoritas bangsa Indonesia ikut terlibat aktif, tidak hanya menjadi mayoritas diam (silent majority). Semangat nasionalis-religius yang dimiliki bangsa ini perlu diekspresikan dengan lebih lantang. Dengan ini, kita bisa berharap dalam tahun-tahun mendatang bangsa Indonesia bisa segera pulih dari luka-luka perbedaan pendapat yang ditimbulkan akibat polarisasi selama kampanye.

Dalam semangat bulan suci Ramadan, elite politik maupun akar rumput Indonesia, di manapun berada, perlu bergandengan tangan untuk bersama-sama membangun bangsa ini menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun ghofur (negeri yang indah dan subur alamnya dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima).

 

** Penulis adalah Tomi Satryatomo, Peneliti Senior The Yudhoyono Institute (TYI)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya