OPINI: Membangun SDM Indonesia yang Siap Menghadapi Tantangan Masa Depan

Indonesia termasuk ke dalam perekonomian berkembang yang akan mengalami kekurangan tenaga kerja terampil yang membuat berbagai bisnis merugi sampai miliaran dolar.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Nov 2021, 20:40 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2021, 20:40 WIB
Dr. Sean O. Ferguson, Senior Associate Dean, Asia School of Business
Dr. Sean O. Ferguson, Senior Associate Dean, Asia School of Business. (Liputan6.com/Triyasni)

Oleh: Dr. Sean O. Ferguson, Senior Associate Dean, Asia School of Business

Liputan6.com, Jakarta - Kita berada di bawah bayang-bayang krisis human capital yang tak bisa diabaikan. Riset Korn Ferry memprediksi bahwa pada 2030, perusahaan dan perekonomian di dunia akan mengalami apa yang disebut sebagai global talent crunch, yakni kekurangan tenaga kerja terampil yang akan akan segera terjadi dan harus disikapi dengan serius.

Indonesia, menurut laporan itu, termasuk ke dalam perekonomian berkembang yang akan mengalami kekurangan tenaga kerja terampil yang membuat berbagai bisnis merugi sampai miliaran dolar. Jika dipadukan dengan perubahan iklim dan agenda keberlanjutan global, tenaga kerja dan pemimpin masa depan, terutama di Indonesia, dapat melompati ekonomi ke paradigma baru. Pertanyaannya, keterampilan apa yang akan membantu membuat perubahan ini menjadi kenyataan dan memberikan pendekatan berkelanjutan terhadap sumber daya manusia?

Indonesia sudah disoroti dalam dekade terakhir, dan ini untuk alasan yang baik. Potensi pertumbuhan ekonomi eksponensial, dibandingkan dengan rekan-rekan Asia yang lebih maju seperti Jepang atau Korea Selatan, sangat besar karena aksesnya ke tenaga kerja yang lebih muda.

Indonesia mencapai puncak bonus demografi (di mana penduduk usia produktif lebih banyak daripada penduduk non-produktif) tahun ini karena penduduk usia kerja antara 15 dan 64 tahun sekarang menyumbang hampir 71% dari total populasi. Terlahir sebagai digital native, generasi milenial (yang kini berusia 25 - 40) dan generasi Z yang lebih tua semakin menempati posisi kepemimpinan untuk benar-benar memanfaatkan teknologi terutama dengan tingkat adopsi digital yang tinggi di seluruh negeri.

Bonus demografi ini adalah jendela peluang, namun keadaan bisa berbalik dengan mudah menjadi kekacauan. Hal ini karena intensitas kekurangan tenaga kerja tidak ditentukan oleh jumlah tenaga kerja, melainkan oleh kualitas dan keterampilan tenaga kerja tersebut.

Meskipun ini mungkin merupakan peluang untuk membangun tenaga kerja yang lebih tangguh sejak pandemi COVID-19, masih ada lebih banyak tantangan yang akan datang. Dampak perubahan iklim sudah terasa, mulai dari gelombang panas yang mematikan hingga banjir besar, dan Asia telah dan akan terus terkena dampak yang signifikan. Dengan PDB sebesar US$4,7 triliun menjadi taruhannya, tenaga kerja yang muncul juga harus tahan lama, mudah beradaptasi, dan terampil dalam mengatasi tantangan ini. Tenaga kerja berbasis digital yang baru dan lebih baik mungkin menjadi jawaban untuk memecahkan masalah yang meluas ini.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita memastikan bahwa tenaga kerja ini siap menangkap peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan membangun sistem berkelanjutan yang membuat mereka tetap berada di garis depan agenda aksi iklim global?

Calon Pemimpin Membutuhkan Smart dan Sharp Skills

Anda pasti familiar dengan konsep soft skill dan hard skill. Istilah ini dipopulerkan oleh U.S. Army pada 1972 untuk membedakan mereka yang bagus dalam pengoperasian mesin atau disebut “hard skill” dengan mereka yang bagus dalam berinteraksi dengan orang lain, atau disebut “soft skill”. Tetapi seiring perkembangan zaman, istilah ini membutuhkan pendekatan yang baru dan menyegarkan. Salah satu dari banyak kerangka kerja di Asia School of Business (ASB) untuk menciptakan pemimpin yang future-ready adalah memberdayakan mereka dengan keterampilan yang tajam dan cerdas, kerangka kerja yang dikembangkan oleh Profesor Loredana Padurean, Dekan Senior di Asia School of Business, dibuat praktis dengan modul action learning kami yang unik untuk ASB.

Sharp skills terdiri dari kemampuan teknis seperti visualisasi data, analitik data, optimization, manajemen berbasis sains, digital literacy, machine learning, dan system dynamics. Dalam konteks bisnis, sharp skills ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan solusi bisnis. Seiring kemajuan dan perkembangan teknologi, keterampilan yang tajam membutuhkan penyempurnaan dan pengasahan yang terus-menerus. Namun, keterampilan yang tajam saja tidak cukup. Mereka harus digabungkan dengan smart skill untuk memastikan adanya peningkatan, kemampuan beradaptasi, dan relevansi yang terus terjadi.

Smart skills, di sisi lain, lebih berorientasi pada manusia dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan secara efektif menggerakkan orang dan organisasi. Ini adalah ketrampilan-ketrampilan yang memfasilitasi penyelesaian sesuatu dan membantu memaksimalkan dampak sharp skill. Manusia seperti algoritma yang kompleks. Umpamakan manusia sebagai komputer yang dapat berpikir, tetapi memiliki kebutuhan emosional, efek interaktif positif dan negatif dengan manusia lain, dan ego yang membutuhkan validasi terus-menerus yang bisa menghambat jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, keterampilan cerdas membantu kita untuk meningkatkan komunikasi kita, terhubung, menjadi siap secara kognitif, mengembangkan kemampuan beradaptasi dan kerendahan hati, dan kerja tim ketika menghadapi masalah.

Singkatnya, smart skill berkembang karena interaksi dengan manusia lain, sharp skill berkembang sejalan dengan penggunaan teknologi. Keduanya diperlukan untuk melintasi kompleksitas masalah yang dihadapi para pemimpin, terutama di Asia dan negara berkembang.

 

Membangun Sistem Keberlanjutan dari Awal

Ilustrasi Perubahan Iklim
Ilustrasi perubahan iklim. (dok. Unsplash.com/Lucas Marcomini/@lucasmarcomini)

Perubahan iklim merupakan perhatian utama lainnya secara global, dengan konsumen global dan pemerintahan mendukung dan/atau menuntut praktik bisnis yang berkelanjutan, dan negara-negara Asia paling berisiko dari perubahan cuaca buruk. Mengambil gambaran besar, elemen lain dari sharp skill melibatkan pemahaman menyeluruh tentang dinamika sistem yang mengacu pada pemahaman kausalitas dan keterkaitan antara variabel dalam suatu sistem dan mengukur dampak dari interaksi tersebut. Apa yang berhasil di satu tempat, umumnya tidak berhasil di tempat lain, terutama dalam hal menciptakan praktik berkelanjutan generasi berikutnya.

Indonesia berada pada posisi utama untuk menjadi ujung tombak dan menjadi model untuk ini, dan itu tidak harus dilakukan secara terpisah. Di sinilah platform seperti Leadership for Enterprise Sustainability Asia (LESA) 2021, acara unggulan oleh ASB ikut berperan. Menyatukan pemikiran utama dan membina hubungan untuk memecahkan masalah iklim dan keberlanjutan yang lebih besar adalah salah satu prioritas utama kami.

Model pendidikan berbasis action-learning kami, yang merupakan ciri khas ASB, adalah cara lain kami membina koneksi, mendorong kolaborasi, dan pemikiran sistem. Para pemimpin kami dilatih untuk menangani berbagai tantangan bisnis dengan terlibat langsung dalam memecahkan masalah dunia nyata di lapangan di perusahaan tuan rumah, dan dalam prosesnya, mereka belajar untuk berpikir secara strategis dan kritis saat berkomunikasi dengan pemangku kepentingan yang berbeda dan menavigasi perbedaan budaya untuk memecahkan masalah dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan berkelanjutan.

Menciptakan Modul untuk Tenaga Kerja yang Future-Ready di Indonesia

Pada akhirnya, upaya yang lebih efektif akan membutuhkan kerjasama dari berbagai stakeholder, baik pemerintahan dan swasta, untuk duduk bersama membangun semacam modul yang measurable dan actionable untuk membangun tenaga kerja yang future-ready di Indonesia. Saya mengapresiasi berbagai inisiatif yang sudah dilakukan di Indonesia, salah satunya baru-baru ini dengan dirilisnya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) kategori Pendidikan Golongan Pendidikan Bidang Soft Skills yang ditetapkan pada Juni 2020 lalu oleh Kementerian Tenaga Kerja RI.

Di Asia School of Business kami memahami bahwa human capital yang produktif adalah sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup. Namun Industry 4.0 dan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat membutuhkan tenaga kerja yang juga mampu terus berkembang. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan pendekatan yang optimal untuk membangun sumber daya manusia yang dapat bekerja bagi masyarakat, perusahaan, dan lingkungan guna menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata. Sementara peluang masih menguntungkan kita, kita harus mulai berinovasi tentang cara untuk meningkatkan dan melatih kembali tenaga kerja kita sekarang - untuk memastikan kelangsungan dan keberlanjutan bisnis di masa mendatang.

Dr. Sean Ferguson adalah Senior Associate Dean di Asia School of Business dalam kemitraan dengan MIT Sloan. Dia adalah pemimpin global dalam industri pendidikan manajemen, yang menghabiskan 15+ tahun terakhir memimpin program di seluruh Asia-Pasifik dan Amerika Serikat. Keahliannya berfokus pada kemampuan kerja global. Ia akan memoderasi diskusi panel dengan topik Human Capital That Works for Society, Enterprises and People pada konferensi LESA 2021 yang akan berlangsung pada 15 hingga 18 November 2021.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya