Mobil Listrik Masih Tergantung Subsidi

Mobil listrik bisa laris kalau disubsidi. Contohnya sudah banyak.

oleh Rio Apinino diperbarui 02 Jun 2017, 21:08 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2017, 21:08 WIB
Mobil listrik
Ilustrasi mobil listrik sedang mengalami pengisian daya baterai di Amsterdam, Belanda. (Sumber Flickr/lhirlimann)

Liputan6.com, Copenhagen - Mobil ramah lingkungan ternyata masih sangat dipengaruhi faktor subsidi. Penjualannya bisa naik karena adanya insentif dari negara, tapi juga bisa anjlok sedemikian rupa ketika subsidi itu dicabut.

Salah satu contoh paling konkret terjadi di Denmark, negara yang memelopori penggunaan energi terbarukan. Penjualan mobil berbasis baterai merosot sampai 61 persen pada kuartal pertama tahun ini karena pemerintah memangkas subsidinya.

Awalnya pemerintah akan menghapus subsidi pada 2020. Namun kebijakan ini diubah pada tengah April lalu karena penjualan mobil listrik mengalami penurunan.

"Penjualan mobil listrik di bawah perkiraan kami satu setengah tahun yang lalu," ujar Menteri Pajak Karsten Lauritzen, dikutip dari Automotive News.

Sementara Laerke Flader, kepala Danish Electric Car Alliance, jelas-jelas menuding kebijakan baru sebagai biang keladi kemerosotan penjualan mobil listrik. Ia mengatakan regulasi yang baru ini "membunuh pasar".

Kejadian di Denmark berbanding terbalik dengan kenaikan penjualan mobil listrik hampir 80 persen di negara tetangga seperti di Swedia, dan rata-rata kenaikan 30 persen di Uni Eropa. Masalahnya, ini semua terjadi karena insentif.

Di Swedia, misalnya, pembeli mobil listrik tidak perlu bayar pajak selama lima tahun. Begitu juga di negara-negara lain. Kondisi di Denmark sangat mungkin terjadi di negara lain jika mereka menerapkan kebijakan yang sama.

Flader menilai, agar mobil listrik bisa berkembang di satu wilayah, memang syaratnya adalah harganya harus kompetitif dengan mobil-mobil konvensional lainnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya