Liputan6.com, Semarang - Mata Misianto sembab. Linangan air mata pun sesekali ditahan ketika Firna Larasati beberapa kali disebut-sebut saat prosesi wisuda di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah. Air mata Misianto bukanlah wujud kesedihan, melainkan kebahagiaan. Anak perempuannya mampu menyelesaikan studi sarjana dengan hasil sangat memuaskan.
Misianto memang pantas berbahagia. Kehidupannya sehari-hari bersama istrinya nyaris jauh dari berkelimpahan materi. Pun demikian dengan Firna Larasati. Keluarga itu kesehariannya berprofesi sebagai pemulung. Tak terkecuali Firna Larasati yang sedang diwisuda itu.
"Saya bahagia dan bangga. Tangisan saya tidak seperti biasanya," ucap Misianto kepada Liputan6.com, Jumat (29/7/2016).
Misianto kemudian bercerita, profesi sebagai pemulung itu sudah dijalaninya selama 15 tahun. Meski demikian, seberapa pun ia mendapatkan rongsokan, ternyata hasilnya tidak seperti yang diinginkan.
Advertisement
"Pangkat saya hanya cari rongsokan, kok anak bisa berhasil seperti ini. Jangankan untuk membiayai kuliah, kebutuhan yang lebih mendasar seperti tempat tinggal saja masih jauh dari lumrah," tutur Misianto.
Baca Juga
Memang hingga saat ini, keluarga pemulung tersebut masih tinggal di rumah papan berlantai tanah. Dinding rumahnya banyak berlubang, sehingga harus ditambal dengan potongan tripleks dan papan. Hanya tersedia tiga tempat tidur dalam rumah itu. Kamar satu dengan kamar lain hanya disekat papan dan kain. Rumah itu berada di Desa Karanggeneng, Kelurahan Sumur Rejo Gunungpati, Kota Semarang.
"Hasil dalam sehari paling banyak Rp 40 ribu. Lebih sering kurang. Karena kondisi itu saya sempat minder. Firna kan ngumpulnya dengan anak orang-orang gede," ujar Misianto.
Ikut Memulung
Ternyata kegelisahan Misianto karena miskin tak membuat Firna Larasanti (21 tahun) berkecil hati. Mahasiswa program Bidik Misi Universitas Negeri Semarang itu tetap supel bergaul.
Akhirnya terbukti kemiskinan tak berbanding lurus dengan prestasi akademis. Firna menjadi salah satu lulusan terbaik di kampusnya dengan predikat cum laude.
Karya skripsi mahasiswi Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial itu menjadi karya terbaik dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,77. Suatu prestasi yang membanggakan.
Terlahir dari keluarga pemulung, putri kedua pasangan Misianto (47 tahun) dan Siti Siswati (45 tahun) itu sempat tak yakin bisa meneruskan pendidikan tinggi. Ia tak berani berpikir terlalu jauh. Ia hanya yakin dan terus belajar giat.
"Saya yakin asalkan berusaha dan minta sama Allah keinginan kita pasti tercapai," kata Firna.
Kondisi ekonomi orangtuanya yang kurang membuatnya harus meluangkan waktu untuk terbiasa bekerja. Utamanya, membantu ayahnya memunguti satu demi satu barang rongsokan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Saya membantu bapak (mulung) kalau sudah pulang sekolah. Ya pungut sampah dan milih-milih rongsokan yang bisa dijual," Firna membeberkan.
Otaknya terus memainkan berbagai 'jurus' untuk bisa survive. Seringkali Firna juga berkeliling membeli buku bekas dan koran bekas dari teman-temannya untuk dijual kembali. Dari hasil gotong royong sekeluarga itu, mereka bisa mendapatkan uang sekitar Rp 50 ribu per hari.
"Kalau sedang sepi bisa di bawah itu, kalau sedang ramai bisa dapat lebih. Barang-barang rongsok begini kan harganya juga naik turun," ucap Firna.
Merasa masih ada waktu luang, Firna juga bekerja paruh waktu menjaga sebuah toko perkebunan. Ia juga pernah menjadi pelayan di rumah makan. Hal itu semata untuk mendapatkan uang lebih, meski hasil yang didapat antara Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu setiap harinya.
Setelah menjadi lulusan terbaik, apa rencana Firna berikutnya? Apakah akan tetap memulung juga?
"Saya pengin kuliah ilmu politik lagi. Kalau tidak ke UGM, saya pengin sekali kuliah ke National University of Singapore," kata Firna Larasati.