Liputan6.com, Cilacap - Riuh rendah ratusan penonton mengiringi pertandingan lomba lari panggul gabah alias nyonggah di Desa Jatisari, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Selasa, 15 Agustus 2017. Beberapa peserta menggunakan nama tanding julukan kawan sepermainan, seperti Pak Camat, Pak Demang, dan Ninja Hatori. Dari 135 peserta, ada seorang perempuan yang menjajal kemampuan dan turut bertanding melawan kaum adam.
Mereka adu ketangguhan berlari bolak-balik sembari memanggul gabah 15 kilogram di lintasan sejauh 150 meter. Sebagian besar peserta berhasil mencapai finis, meski ada yang berjalan lantaran sudah tak kuat lagi berlari. Beberapa peserta tak sampai garis finis karena kehabisan napas walau baru separuh lintasan.
Ketua Panitia Lomba Lari Panggul Gabah, Mardiyo, mengatakan lomba tersebut dilakukan untuk melestarikan tradisi budaya nyonggah masyarakat setempat. Nyonggah, ujar Mardiyo, dilakukan tiap kali panen di Desa Jatisari. Nyonggah adalah istilah lokal yang berarti mengangkut gabah dari sawah menuju rumah.
Pada masa lalu, kata Mardiyo, pertandingan lomba lari memanggul gabah atau nyonggah juga telah dilakukan masyarakat sebagai hiburan musim panen. Seiring waktu, tradisi itu tak lagi dilakukan.
"Hiburan pertandingan nyonggah, biasa dilakukan di tengah sawah, pada panen menjelang musim kemarau," katanya.
Pertandingan nyonggah ini adalah kali pertama dilakukan setelah puluhan tahun vakum. Namun, pertandingan tak dilakukan di sawah, tetapi di jalan raya. "Kenapa ini di jalan, karena sawah sedang ditanam palawija sehingga tidak memungkinkan. Nah, ini kita lakukan di jalan," ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Lantaran bertujuan melestarikan tradisi, juara pun diambil sampai 10 orang. Selain juara 1, 2, dan 3, tujuh orang lain yang masuk babak final juga mendapat hadiah.
"Kenapa ini dilakukan, karena memang sebagian masyarakat Cilacap ini hidup dari pertanian. Untuk petani, apa, ya ini yang sehari-hari mereka lakukan, yakni budaya nyonggah. Budaya nyonggah, yaitu memanggul gabah dari sawah ke rumah," Mardiyo menjelaskan.
Sementara, Kepala Desa Jatisari Yatiman mengatakan sebagian besar masyarakat di desanya memang berprofesi sebagai petani, baik pemilik tanah maupun buruh tani. Dia menjelaskan, luas lahan sawah di desanya mencapai 500 hektare lebih.
Yatiman menerangkan, di desanya ada pula budaya mbawon yang kini semakin langka. Mbawon yakni istilah jasa memanen padi yang dilakukan oleh buruh tani untuk pemilik lahan. Sekarang ini, mbawon sudah banyak digantikan oleh mesin perontok padi yang bisa berpindah dari satu petak ke petak lainnya.
Dalam tradisi mbawon, buruh tani tak dibayar dengan uang, tetapi dengan cara bagi hasil. Bagi hasil panen antara buruh dan pemilik lahan ini disesuaikan dengan jarak tempuh sawah dan bagus dan tidaknya hasil panen. Semakin jauh jarak sawah, bagian untuk buruh tani semakin banyak.
"Perbandingan 1:4 (mara papat), artinya dalam setiap 100 kilogram gabah, buruh tani mendapat gabah 25 kilogram, sementara pemilik mendapat 75 kilogram. Lantas, ada pula mara lima (1:5), yakni tiap 100 kilogram gabah, pemilik lahan mendapatkan 80 kilogram, sementara, buruh tani atau pem-bawon mendapat jatah 20 kilogram," tutur dia.
Dia pun mengapresiasi warga yang menginisiasi lomba lari panggul gabah itu. Menurut dia, budaya itu patut diperkenalkan kepada generasi muda dan anak-anak agar budaya pertanian tetap lestari. Pertandingan itu juga menjadi rangkaian berbagai perlombaan yang digelar oleh Pemdes Jatisari jelang peringatan HUT ke-72 RI.
"Dari desa sangat antusias. Antusiasmenya juga sangat besar, dari ujung mana pun. Peserta tidak hanya berasal dari Jatisari peminatnya, melainkan dari luar kecamatan," ujar Yatiman.
[vidio:https://www.vidio.com/watch/822099-unik-balap-lari-panggul-gabah-nyonggah-ala-petani-cilacap]