Tinggal di Kaki Gunung Slamet, Warga Purbalingga Malah Minus Air Bersih

Sebagian wilayah Purbalingga di kaki Gunung Slamet yang mestinya kaya sumber air, nyatanya wilayah ini tak luput dari krisis air bersih.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 16 Sep 2018, 01:02 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2018, 01:02 WIB
Warga mengantre bantuan air bersih. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Warga mengantre bantuan air bersih. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga - Hingga pertengahan September 2018 ini, sebanyak 29 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah mengalami krisis air bersih. Sejauh ini, hanya empat wilayah yang lolos dari bencana musim kemarau ini.

Dibanding wilayah lain, wilayah Purbalingga termasuk yang tertinggi meminta bantuan air bersih. Hingga Jumat, 14 September 2018, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purbalingga sendiri mengirimkan bantuan air bersih sebanyak 1.171 tangki.

Ironis. Pasalnya, sebagian wilayah Purbalingga berada di kaki Gunung Slamet yang mestinya kaya sumber air. Nyatanya, wilayah ini tak luput dari krisis air bersih.

Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Purbalingga, Muhsoni mengatakan pada musim kemarau ini, nyaris seluruh mata air terdampak. Seturut kemarau, mata air mengecil dan lantas mati.

Kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah, termasuk lereng Gunung Slamet. Salah satunya di jalur pendakian Bambangan.

"Daun-daun masih hijau tapi sumur sudah kering. Warga juga heran," kata Muhsoni, Jumat 14 September 2018.

Namun begitu, ia tak menjelaskan apakah penurunan debit air secara cepat ini berkorelasi dengan alih fungsi lahan. Kayu keras berubah menjadi tanaman musiman, atau hutan lindung disulap menjadi hutan produksi.

"Ya saya tidak bisa memastikan seperti itu. Tetapi, ya mungkin ada hubungannya," ujarnya.

Dia menerangkan, semula BPBD Purbalingga menganggarkan stok bantuan air bersih sebanyak 750 tangki. Namun, dalam perkembangannya, jumlah ini tak cukup untuk menyuplai seluruh wilayah yang mengalami krisis air bersih. Sebab itu, BPBD pun kembali mengajukan anggaran bantuan air bersih dalam APBD Perubahan 2018.

Kekurangan 900 Tangki Hingga Akhir Kemarau

Warga membuat sumur darurat di pinggir sungai untuk atasi krisis air bersih. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Warga membuat sumur darurat di pinggir sungai untuk atasi krisis air bersih. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Dari angka 750 tangki, BPBD memperoleh tambahan sehingga jumlah cadangan bantuan air bersih menjadi 1.000 tangki. Namun, ternyata belum cukup.

Hingga Jumat (14/9/2018) BPBD telah mengirimkan sebanyak 1.171 tangki atau sudah melewati maksimal anggaran BPBD Purbalingga. Bantuan air bersih ini dikirimkan ke 57 desa di 13 kecamatan yang terdampak kekeringan parah.

"Tapi ternyata seribu pun, per hari kemarin sudah terlampaui. Dalam perjalanannya kurang," dia menerangkan.

Saat ini jumlah permohonan bantuan air bersih berkisar 20 tangki per hari. Tapi BPBD hanya bisa melayani sebanyak 15 tangki. Diperkirakan hingga 9 Oktober 2018 nanti, BPBD masih memerlukan kisaran 900 tangki bantuan air bersih.

Meski telah defisit, BPBD Purbalingga tak hendak menghentikan bantuan air bersih. Karenanya, BPBD mengajukan bantuan ke provinsi Jawa Tengah.

Selain itu, BPBD juga mengusulkan penambahan anggaran lewat alokasi Belanja Tidak Terduga (BTT). Usulan BTT pun akan dirapatkan dengan instansi terkait lainnya.

Muhsoni mengungkapkan, krisis air bersih di Purbalingga tahun ini belum bisa disebut paling parah dibanding periode sebelumnya. Sebab, di tahun 2011 BPBD mengirimkan sebanyak 2.000 tangki lebih untuk penanganan dampak kemarau. Kemudian, pada tahun 2015 terkirim sebanyak 1.750-an tangki bantuan air bersih.

Kemarau di Purbalingga diperkirakan akan terjadi hingga awal Oktober 2018. Tahun ini dampak kemarau memang sangat terasa. Menurut dia, hal ini bisa dilihat dari hilangnya mata air dan mengecilnya debit sumur warga yang terjadi secara cepat.

"Kita belum seluruhnya ya, karena kemarau kan masih terjadi sampai Oktober," dia menambahkan.

Dia pun mengklaim jumlah desa yang dilanda kekeringan relatif berkurang. Di tahun-tahun sebelumnya, desa yang terdampak berkisar antara 65-70 desa. Namun, tahun ini sudah berkurang di bawah 60 desa.

"Ada Pamsimas ada juga pipanisasi," dia menjelaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya