Liputan6.com, Cilacap - El Nino belakangan populer seiring puncak musim kemarau di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Gara-gara El Nino, kemarau lebih panjang dari biasanya.
Padahal, cekaman kemarau menyebabkan sebagian besar wilayah di Jawa kekeringan. Banyak pula yang kini sudah mengalami krisis air bersih.
Prakirawan BMKG Pos Pengamatan Cilacap, Rendy Krisnawan mengatakan, El Nino adalah fenomena di mana suhu permukaan laut di perairan Indonesia lebih rendah dari biasanya. Sebaliknya, di sisi utara, suhu permukaan samudera pasifik lebih hangat dari normal.
Advertisement
Akibatnya, pada akhir 2018 ini, kawasan Samudera Pasifik dan sekitarnya lebih banyak hujan. Sebaliknya, perairan Indonesia lebih minim hujan atau musim hujannya mundur dari biasanya.
Baca Juga
"Musim hujan mundur karena El Nino itu fenomena air laut di Indonesia lebih dingin daripada normalnya. Sementara di Samudera Pasifik permukaan air laut lebih hangat," dia menjelaskan, Senin, 15 Oktober 2018.
Fenomena El Nino berbanding terbalik dengan La Nina. Selayaknya namanya yang gemulai dan terkesan feminim, La Nina justru mendatangkan musim kemarau basah, atau tahun tanpa musim kemarau.
Baik El Nino maupun La Nina tingkat pengaruhnya terhadap musim dan cuaca bisa berbeda sesuai dengan kuat atau lemahnya fenomena ini. Tahun 2018 ini misalnya, pengaruh El Nino disebut lemah.
Meski begitu, diprediksi musim hujan mundur. Itu termasuk di provinsi Jawa Tengah.
Bahkan, ada wilayah di Jawa Tengah pengaruh El Nino menyebabkan musim hujan mundur dua dan tiga dasarian. Satu dasarian adalah 10 hari. Itu berarti, di tingkat pengaruh terparah, musim hujan mundur satu bulan dari biasanya.
Â
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Daftar Wilayah Terdampak El Nino di Jawa Tengah
Dia menjelaskan, di beberapa wilayah Jateng, musim hujan yang biasanya tiba pada awal hingga pertengahan Oktober diperkirakan mundur ke akhir Oktober hingga pertengahan November 2018 mendatang.
Wilayah yang awal musim hujannya mundur dua dasarian atau 20 hari yakni, Kota Surakarta, sebagian besar Klaten, Sukoharjo, sebagian Clacap, Banyumas, Purworejo, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Magelang.
Kemudian, Karanganyar, Wonogiri, Brebes, Tegal Selatan, barat daya Sragen dan Pemalang, sebagian Temanggung utara, dan sebagian kecil Kendal, Semarang, dan Boyolali.
Adapun yang mundur tiga dasarian alias sebulan adalah Grobogan, Blora, Kota Magelang, sebagian Batang, Kendal, Sragen, Magelang, Cilacap, Pati, dan Kota Semarang. Kemudian, sebagian Rembang selatan, sebagian kecil Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Temanggung.
Rendy mengemukakan, akibat fenomena El Nino, curah hujan sepanjang 2018 di sejumlah wilayah di Jawa Tengah juga di bawah normal. Di antaranya, sebagian wilayah Cilacap, Jepara, Grobogan, Sragen, Boyolali, Kebumen dan Wonogiri.
Namun demikian, menurut dia, curah hujan sebagian besar wilayah di Jawa Tengah tetap normal. Bahkan, ada pula yang di atas normal, yakni meliputi kawasan Gunung Slamet dan Dataran Tinggi Dieng.
Diperkirakan pengaruh El Nino akan berakhir pada akhir tahun 2018. Pada awal 2019, sekitar Januari, pengaruh El Nino sudah hilang sama sekali. Hal ini berbeda jika El Nino relatif kuat sehingga berpengaruh hingga tiga bulan.
Tak dipungkiri, musim kemarau panjang menyebabkan sejumlah wilayah di Jawa Tengah mengalami krisis air bersih. Karenanya, ia mengimbau agar warga lebih berhemat air.
"Petani yang biasanya sudah memulai musim tanam pada pertengahan Oktober, terutama di sawah tadah hujan juga jangan dulu memulai," dia menambahkan.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement