Polemik Kampung Muslim di Negeri Syariat

Aspek moral yang dianggap kian mengalami degradasi di negeri Serambi Mekkah mendorong Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menginisiasi pembentukan kampung muslim.

oleh Rino Abonita diperbarui 30 Okt 2018, 10:00 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2018, 10:00 WIB
Polemik Kampung Muslim
Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh (Liputan6.com/Rino Abonita).

Liputan6.com, Aceh Barat - Aspek moral yang dianggap kian mengalami degradasi di negeri Serambi Mekkah mendorong Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menginisiasi pembentukan kampung muslim. Maka munculah ide melokalisasi 35 desa di kabupaten itu menjadi 'Kampung Muslimin'.

Bukan sekadar wacana, ide membentuk 35 desa menjadi kampung muslim yang konon hendak dijadikan pilot project bagi 287 desa lainnya dari 12 kecamatan yang ada di kabupaten itu, saat ini tinggal menunggu Perbub.

"Seminar sudah. Tinggal di-perbup-kan. Tinggal implementasinya. Sudah kita panggil perwakilan semua desa yang ingin dijadikan kampung muslimin," demikian ujar Ena Herisna, yang menjadi ketua panitia pembentukan kampung muslim, saat diwawancari Liputan6.com, Senin (29/10/2018).

Seminar yang dimaksud dilaksanakan pada 11 Oktober 2018 lalu. Dalam seminar tersebut, turut hadir Prof Syahrizal Abbas, selaku mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Mariati MR, selaku mantan salah seorang legislator di Aceh, serta Illiza Sa'aduddin Djamal, selaku mantan Walikota Banda Aceh.

Nama yang terakhir disebut, memang terkenal cukup getol menyuarakan penegakan syariat Islam selama ia memimpin Kota Banda Aceh. Salah satu yang cukup mentereng saat ia memberhentikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh, Fadhil, dari jabatannya, pada Sabtu, 19 September 2015 silam.

Fadlhil, saat itu dinilai abai karena membiarkan penampilan tarian India di malam pembukaan Piasan Seni Banda Aceh 2015. Pertunjukan itu dianggap 'erotis' dan tidak sesuai dengan penerapan syariat Islam. Sang kadis dicopot lima hari setelah acara pembukaan.

Tak jauh berbeda, Bupati Aceh Barat, Ramli MS, sempat memberlakukan larangan wanita memakai celana panjang atau jins pada periode pertama ia memimpin 2010 silam. Ia bahkan menabalkan kabupaten yang dipimpinnya itu sebagai Kota Tauhid Tasawuf.

Jika kedapatan memakai celana jins saat razia, maka celana bersangkutan akan digunting. Sebagai gantinya, yang bersangkutan akan diberi rok. Untuk mendukung terobosannya itu, Ramli secara khusus menyediakan sebanyak 20.000 potong rok melalui Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah (polisi syariat) di kabupaten itu.

Sebelumnya, ia juga mengeluarkan larangan agar pejabat pemerintah di tiap level dalam kabupaten itu tidak melayani tamu yang berurusan ke kantor pemerintah dengan pakaian ketat. Jika kedapatan melayani, jabatan sang kepala dinas jadi taruhan.

Belakangan, larangan tersebut kembali diberlakukan di masa kepemimpinan. Ramli yang kedua. Hal ini diterapkan sejak awal Oktober 2018 lalu. Saat ini, sejumlah satuan polisi pamong praja dan WH ditempatkan di sejumlah instansi di kabupaten itu. Mereka mengawasi tiap tamu yang datang. Jika perempuan memakai celana panjang atau jins dilayani, jabatan kadis langsung dicopot.

 

Kampung Muslimin, Seperti Apa?

Lantas, bagaimanakah sebenarnya kampung muslimin, jika projek tersebut terlaksana kelak?

Menurut Ketua Panitia Pembentukan Kampung Muslimin, Ena Herisna, di desa yang didaulat sebagai kampung muslimin warganya akan secara ketat melaksanakan syariat Islam. Penerapannya melibatkan seluruh komponen yang ada di desa. Pemerintah hanya me-monitoring dan mengevaluasi.

Adapun beberapa gambaran yang nanti ditemukan di kampung-kampung muslimin diantaranya, terdapat remaja yang berpakaian syar'i, pemuda pemudinya jauh dari narkoba, serta anak-anaknya tampak mengaji selepas maghrib. Selanjutnya, pemuda pemudi yang ada di kampung muslimin nanti, adalah mereka yang etno-nasionalisme-nya terukur dari sifat dan sikapnya mengamalkan Pancasila dalam kesehariannya.

Hal ini, pertegas pula oleh pernyataan Bupati Aceh Barat, Ramli MS, saat diwawancarai Liputan6.com, Senin, 29 Oktober 2018. Menurutnya, kampung muslimin yang diinisiasi olehnya itu sebagai 'bentengnisasi' agar ideologi, baik agama maupun negara aman dari berbagai hal yang dapat menganggu-gugat keduanya.

"Di kampung muslimin, akan ada pendalaman nilai-nilai keagamaan, dan pendalaman nilai-nilai kenegaraan. Jadi bisa disebut kampung islami yang pancasilais. Selama ini, orang tidak lagi berpikir ideologis, apakah agama, atau negara. Mereka nanti akan dibimbing. Mereka nanti akan diajar, termasuk politik hingga pertahanan nasional," sebut Ramli.

Kampung muslimin juga akan mendapat perhatian khusus dari segi pembangunan. Hal ini, akan menjadi pembeda antara desa yang didaulat sebagai kampung muslimin dan yang bukan kampung muslimin.

"Yang paling beruntungnya kampung muslimin ini, semua SKPK itu terlibat di dalamnya. Misal, di kampung muslimin itu jalannya rusak, ada perumahan yang layak dibantu, atau lainnya. Semua dinas yang ada di Aceh Barat turun ke desa itu," ungkapnya.

Selain itu, peningkatan ekonomi masyarakat di kampung muslimin turut menjadi prioritas. Hal ini kiranya, berkaitan erat dengan jargon, 'kefakiran dekat dengan kekafiran'. Dalih, bahwa agama secara ideologi bisa saja sewaktu-waktu oleng oleh materi pun menjadi dasar.

"Kalau tidak seperti itu, Islam mudah diobok-obok. Coba lihat, Islam selama ini, karena tidak ada uang, akidahnya mudah berubah," dalih Ena. Oleh Ena, kekhususan kampung muslimin tidak bermaksud meng-anaktirikan desa-desa lain di kabupaten itu. Desa lain dapat menerapkan hal yang sama melalui Musrembangdes masing-masing.

"Kan, sekarang ada Musrembang, ada dana desa. Mereka bisa memasukkannya kesana. Kampung muslimin ini hanya sebagai sampel. Menjadi contoh bagi desa lain, sehingga mereka bisa mandiri," kata sarjana kesehatan masyarakat itu.

 

Lokalisasi Syariat di Negeri Syariat

Dari sudut pandang berbeda, sosiolog dan Petua Chiek Perkumpulan Prodeelat, Affan Ramli mengungkapkan, nilai-nilai keislaman pada dasarnya sudah inheren atau melekat, serta mewujud dalam praktik perilaku sehari-hari masyarakat di Aceh.

Nilai-nilai tersebut terejawantah pula dalam sifat dan sikap masyarakat baik personal maupun komunal. Dalam praktik akhlak personal misal, adanya sifat jujur, rendah hati, atau tidak dengki antarsesama. Sementara, dalam praktik akhlak komunal nilai-nilai tersebut mewujud dalam pelbagai praktik hubungan sosial yang melahirkan pelbagai adat dan budaya yang melembaga.

"Adapun contoh praktik akhlak komunal tersebut seperti, tatacara mengelola sawah, distribusi ie blang, meuseuraya, tatacara pergaulan muda mudi, pengaturan ikatan-ikatan sosial, maupun tatacara pembagian sumberdaya alam, dan lainnya," sebut Affan, kepada Liputan6.com, Senin (29/10/2018).

Lahirnya praktik akhlak komunal (horizontal) tersebut pada dasarnya ekses pengembaraan spiritual masyarakat yang sudah lebih dulu menjalin hubungan harmonis antara ia dan Tuhan (vertikal). Karena itu, sifat dan sikap masyarakat yang terwujud baik itu secara personal maupun komunal, disebabkan nilai-nilai keislaman telah lebih dulu melekat secara individu.

Namun, belakangan praktik-praktik akhlak komunal di kampung-kampung yang ada di Aceh pelan-pelan kian merosot seiring pesatnya ragam budaya global yang menyebar lewat tekhnologi sebagai inang-nya.

"Maka, ketika Pemerintah Aceh Barat membangun satu proyek kampung muslimin, ini dalam makna apa? Apakah dalam makna memperkuat akhlak komunal adat atau mulai masuk ke isu lain seperti teologi?" tanya Affan.

Jika pembentukan kampung muslimin  merupakan upaya membentuk struktur imani (kesalehan) individu yang nirmala (tanpa cacat cela) secara keseluruhan, sedang alaminya manusia terdiri dari yang baik dan tidak baik, maka hal itu dipandang cukup sulit terlaksana.

Namun, jika pembentukan kampung muslimin sebagai upaya memperkuat praktik-praktik akhlak komunal yang semakin menghilang di Aceh, atau Aceh Barat khususnya, bagi Affan itu cukup menarik.

Akan tetapi, imbuhnya, penabalan nama 35 desa dari 322 desa yang ada di Kabupaten Aceh Barat menjadi 'kampung muslimin' jangan sampai melahirkan persepsi bahwa desa lain tidak se-muslim kampung muslimin.

"Takutnya, penamaan kampung muslimin untuk satu dua desa bisa membuat desa lain mengira desa mereka bukan muslimin," pungkas dosen sosiologi Universitas Teuku Umar tersebut.

Simak juga video pilihan berikut ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya