Mengharukan, Menanti Sang Ayah di Tambatan

Kegelisahan itu terkadang muncul di benaknya. Ajimal tak ingin kembali menjalani masa-masa dimana dia dan ibunya kerap membulati tanggal dengan spidol, menghitung hari kepulangan ayahnya.

oleh Rino Abonita diperbarui 04 Feb 2019, 05:04 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2019, 05:04 WIB
Menanti Sang Ayah di Tambatan
Menanti Sang Ayah di Tambatan (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Ajimal (25) selalu tersenyum jika mengingatnya. Hari itu, untuk pertama kalinya dia melihat wajah ayahnya setelah bertahun tak bersua karena Sang Ayah meringkuk dalam penjara di India.

Ayah Ajimal bukanlah penjahat lintas internasional. Dia hanya nelayan pencari hiu yang ditangkap otoritas setempat pada suatu malam nan hening di wilayah perairan negara pencetak artis Bollywood tersebut.

Saat itu, mesin kapal telah dimatikan. Mereka yang ada di kapal, termasuk ayah Ajimal meringkuk dan membisu di dek dan anjungan kapal, menunggu helikopter yang sedang berpatroli menjauh.

Namun, celakanya Ayah Ajimal lupa mematikan rokok. Titik merah dari kejauhan membuat petugas patroli curiga, dan mengarahkan lampu sorot ke arah kapal yang seluruh awaknya berasal dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat itu.

Tak pelak, seluruh awak kapal ditangkap. Termasuk salah seorang rekan ayah Ajimal yang sedang sekarat karena kakinya terluka akibat terkait mata pancing hiu seukuran paku 12 sentimeter. 

"Sempat di bom, kata ayah. Ayah sampai melompat ke laut. Itu kejadian sebelum tsunami. Penjara di India itu payah. Sempit, tersiksa. Kerja ayah berkelahi dengan petugas atau tahanan lain. Tapi akhirnya pulang ke Aceh," tutur Ajimal kepada Liputan6.com, Sabtu 2 Februari 2019.

Kegelisahan itu terkadang muncul di benaknya. Ajimal tak ingin kembali menjalani masa-masa dimana dia dan ibunya kerap membulati tanggal dengan spidol, menghitung hari kepulangan ayahnya.

"Bagi anak nelayan, itu mimpi buruk. Ditangkap dan dipenjara di tanah orang itu, kira-kira 10 dari 100 nelayan mengalami, terutama yang memancing jauh, seperti pencari hiu. Beda dengan yang pergi subuh pulang sore. Itu laut sekitar, paling lintas kabupaten," kata pemuda yang menuruti jejak ayahnya ini.

Masalah Klasik

Ilustrasi kapal (iStock)
Ilustrasi kapal (iStock)

Tertangkapnya nelayan asal Aceh di sejumlah negara tetangga menjadi masalah klasik. Setiap tahun, ada saja nelayan ditahan oleh otoritas setempat karena melanggar batas teritorial atau illegal fishing.

Lembaga adat laut Aceh, Panglima Laot mencatat, pada tahun 2018 lalu, puluhan nelayan Aceh tertangkap karena melanggar batas-batas wilayah laut. Mirisnya, terdapat belasan diantaranya yang ditengarai hilang tanpa jejak.

"Di tahun 2018 meningkat dari tahun 2017. Tahun 2018, sekitar 36 atau 34 orang. Malah 2018, 13 orang tidak ditemukan. Hidup atau tidak, tidak diketahui," ungkap Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftachuddin Cut Adek kepada Liputan6.com, Sabtu malam (2/2/2019).

Belasan nelayan yang hilang tanpa jejak tersebut diduga tenggelam bersama dengan kapal. Kebanyakan dari mereka berasal dari Idi, Kabupaten Aceh Timur.

Secara tersirat, makna 'tenggelam' bisa jadi 'ditenggelamkan' dengan bom.

Banyaknya nelayan Aceh yang tertangkap di perairan negara tetangga perlu perhatian lebih. Setidaknya, nelayan asal Aceh diberi sosialisasi dan penguatan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. "Kita berharap sih begitu," asa dia.

Mereka yang Bebas dan Ditahan

Belum lama ini, sebanyak 14 dari 16 nelayan Aceh yang ditangkap di perairan Myanmar sudah dipulangkan ke Aceh. Para nelayan yang ditangkap pada November tahun lalu ini bebas pada Kamis, 30 Januari 2019, lalu.

Seorang nelayan bernama Jamaludin (35) masih menjalani proses hukum di pengadilan Myanmar. Sementara itu, satu orang lagi dinyatakan meninggal dunia dan telah dikebumikan secara Islami oleh kelompok melayu setempat.

"Jamaludin sengaja tidak dilepas oleh mereka. Masuk pengadilan. Dia termasuk penanggungjawab atau kapten kapal. Belum dibebaskan, karena terindikasi illegal fishingmenurut undang-undang mereka," sebut Miftach.

Selain itu, terdapat 5 nelayan Aceh yang masih ditahan. Namun, mereka disebut-sebut akan bebas dan pulang ke kampung halaman pada bulan ini.

Lima nelayan asal Manyad Payed, Kabupaten Aceh Timur ini ditahan di Malaysia sejak Juli 2018, lalu. Mereka memperoleh pengurangan masa hukuman atau remisi selama tiga bulan.

"Pengadilan Negeri Malaysia pada  31 Oktober 2018 telah menjatuhkan hukuman kurungan enam bulan. Februari ini bebas, namun, tanggal pastinya belum diketahui," ujarnya.

Lima nelayan tersebut ditangkap di atas kapal KM Wulandari berbobot 7 gross tonnage (GT), saat melaut di perbatasan Indonesia-Malaysia pada Rabu, 11 Juli 2018. Mereka adalah Syamsul Bahri (42), Sakbani (24), Aji Saputra (20), Syahrul Rizal Yahya (38), dan Sunaryo (40).

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya