Harga Cabai Rawit di Bandung Sentuh Rp120 Ribu, Pedagang Merengut

Kenaikan harga cabai tersebut belum sampai mengurangi pelanggan secara drastis, tapi gejalanya sudah tampak. Pelanggan mulai mengurangi pembelian

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 15 Mar 2021, 07:00 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2021, 07:00 WIB
Harga cabai rawit di Kota Bandung masih tinggi, mencapai Rp120 ribu per kilogram. (Foto: Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)
Harga cabai rawit di Kota Bandung masih tinggi, mencapai Rp120 ribu per kilogram. (Foto: Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Hingga pekan ini harga cabai rawit merah di Kota Bandung belum kunjung turun. Misalnya, di Pasar Kosambi tertahan di harga Rp120 ribu per kilogram, padahal saat normal hanya Rp30 ribu - Rp 50 ribu. Kenaikan ini tak hanya memberatkan pembeli tapi juga pedagang, modal yang mereka rogoh jadi harus lebih dalam.

Seorang pedagang cabai, Bella (23) menyampaikan, kenaikan tersebut sudah bertahan hampir sebulan. Informasi yang sampai ke pedagang, katanya, kenaikan harga dipicu penurunan stok akibat masalah panen sehubungan dengan kondisi cuaca.

"Dari sananya (distributor) sudah naik," katanya kepada Liputan6.com, (12/3).

Membandingkan dengan beberapa tahun terakhir, kenaikan kali ini terhitung lebih tinggi. Dalam kurun lima tahun, kata Bella, ia tak pernah menjual cabai semahal sekarang. "Menjelang puasa paling naik di Rp 100 ribu. Tidak pernah lebih," ungkapnya.

Sejauh ini, kenaikan tersebut belum sampai mengurangi pelanggan secara drastis, tapi gejalanya sudah tampak. Pelanggan mulai mengurangi pembelian.

"Biasanya beli sekilo jadi setengah (kilo), biasanya beli setengah jadi seperempat. Kata orang, mending beli daging daripada beli cengek (cabai rawit)," kata Bella.

Kenaikan harga cabai memaksa pedagang untuk menyediakan modal berkali lipat. Kondisi tersebut diakui menjadi beban. Jika kenaikan harga terus berlarut, Bella khawatir, dagangannya tak akan laku. Di sisi lain, karena pertimbangan naiknya modpa yang dikeluarkan, ia tak mungkin juga untuk terlalu menurunkan harga jual.

"Modalnya jadi berat. Yang dikhawatirkan kalau gak laku (cabai) busuk, jadi kita buang modal dong jadinya," imbuh Bella.

Tak hanya cabai rawit merah, jenis lain pun pada umumnya mengalami kenaikan. Kenaikan paling signifikan terjadi untuk cabai rawit hijau. Harga perkilogramnga kini menyentuh Rp 80 ribu, padahal harga normal berada di kisaran Rp 20 ribu hingga Rp 30-35 ribu.

"Biasanya ingin yang merah tapi gak saya kasih semua. Kalau mintanya yang merah semua, nanti habis dagangan saya, yang hijau nanti gak laku," katanya.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Cuaca Bikin Petani Gagal Panen

Kisah Kakek Sulap Tanah Garapan Jadi Ladang Cabai Rawit
Kakek Suyitno atau Pak Dul menunjukkan cabai rawit hasil berkebunnya di lahan bekas gusuran kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta, Kamis (25/7/2019). Sebagian hasil panen cabai rawit dikirim ke pasar dan sebagian lainnya dijual kepada warga di Kampung Akuarium. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Kepala Bidang Distribusi Perdagangan dan Pengembangan E-Commerce Disdagin Kota Bandung, Meiwan Kartiwa, sempat menyatakan, dari delapan pasar yang terpantau, harga cabai rawit merah dijual di kisaran Rp110 ribu - Rp120 ribu per kilogram.

Menurut pengamatannya, stok di tingkat produsen memang berkurang. Meiwan menjelaskan, cuaca yang terjadi belakangan ini, membuat sebagian petani gagal panen.

"Dari produsennya harga sudah naik memang saat ini mungkin klise masalahnya faktor cuaca menyebabkan cabainya gagal panen. Kemudian cabainya pun tidak bisa bertahan lama jadi cuma beberapa hari, cepet busuk atau kempes. Dari produsennya pun pada berebut karena daerah lainnya juga membutuhkan sehingga stoknya yang agak berkurang," katanya.

Pengamat Pertanian yang juga Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Entang Sastraatmaja menilai, faktor cuaca memang memengaruhi. Namun, bukan pemicu tunggal.

Entang justru menilai, biang dari kenaikan harga cabai yang terus berulang disebabkan tidak adanya masterplan atau rancangan rencana pertanian multisektor yang terukur dari hulu ke hilir, dari rencana tanam di kebun hingga penjualan di pasar.

"Ini fungsinya standarisasi harga. Jangan hanya jadi pemadam kebakaran, beraksi ketika sudah terjadi (kenaikan harga)," kata Entang.

"Harusnya ada deteksi dini. Ini membutuhkan suatu pengkajian maka pemerintah harus kerjasama dengan perguruan tinggi melihat bagaimana menghadapi musim tanam. Misalnya untuk bulan ini bagaimana, lalu skenario menghadapi musim tanam bulan berikutnya bagaimana. Harus terukur dan terkonsep," Entang menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya