Liputan6.com, Jambi - Dinggung, tradisi sastra lisan ini berasal dari Dusun Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi. Di sebuah dusun nun jauh itu, sebuah warisan leluhur sastra lisan Dinggung ini dipakai masyarakat sebagai medium ritus memanen madu lebah sialang.
Maestro sastra lisan Dinggung, Sobri menjelaskan, sastra lisan Dinggung adalah kearifan masa lalu yang dimiliki masyarakat dalam menjaga ekosistem. Intinya kearifan lokal ini berisi tatanan mengambil madu hutan, masyarakat tidak harus menebang Sialang--sebutan untuk berbagai jenis pohon yang menjadi "rumah" bagi lebah madu hutan.
Baca Juga
Berbagai tahapan dan prosesi dalam tradisi lisan ini secara terinci dijelaskan Sobri. Dia mengatakan, sebelum mengambil madu sialang di hutan terlebih dulu akan diawali dengan mempersiapkan berbagai perpakas dan menentukan pemanjat sialang.
Advertisement
Setelah ditentukan siapa pemanjatnya, mereka lantas akan mengajak bujang-gadis sebagai pengambil madu sialang rayo. Tuo gadih (mak gadis, induk gadis) akan mengajak gadis dusun untuk mengambil madu sialang bersama-sama di hutan.
"Anak gadis berpamitan untuk mengambil madu. Setelah disetujui oleh tuo gadis, maka sudah bisa berangkat mengambil madu sialang," ujar Sobri dalam kegiatan Revitalisasi Sastra Lisan Diggung yang digelar Kantor Bahasa Jambi, Jumat (1/2/2022).
Setibanya di bawah batang sialang, pemanjat pun mulai mempersiapkan perkakas, membuat tunam (alat mengusir lebah), menyiapkan wadah ambung sebagai perkakas untuk memuat barang-barang persiapan tradisi.
Lantas si pemanjat mempersiapkan pasak, menyiapkan liyeh (tangga) untuk naik ke pohon. Sementara induk atau tuo gadih bersama anak gadis mempersiapkan bekal. Mereka kemudian membentang tikar dan membuat api unggun sebagai penerang.
Mengelilingi Pohon Sialang
Pada malam itu, seorang pemasang pasak akan berdoa bersama dan mengentam pohon sialang untuk memberi kabar kepada lebah sialang yang berada di atas. Kabar itu disampaikan, apakah pohon sialang sudah bisa dipanjat atau tidak.
"Tandanya jika pohon sialang itu siap dipanjat, maka pohon sialang itu akan mengeluarkan bunyi dentuman (berdengung). Tapi jika tidak berdengung itu tandanya kita tidak diizinkan untuk memanjat pohon itu," kata Sobri.
Setelah dua atau tiga kali mendengar dentuman atau berdengung, kemudian mereka akan tahu dan memastikan telah mendapatkan izin untuk mengambil madu. Pohon sialang pun sudah bisa dipanjat dan madunya siap dipanen.
Sebelum memanjat, si pemanjat pohon tadi merapal doa, komat-kamit sambil mengelilingi pohon sialang. Hal itu dilakukan agar terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan. Setelah keliling sekitar tiga kali putaran, pohon sialang itu mulai dipanjat.
"Prosesi memanjat itu juga membaca pantun bertujuan untuk menyapa, atau berpamitan terlebih dahulu. Setelah pamit, orang-orang yang di bawah juga akan berpantun," kata Sobri menjelaskan.
Ketika prosesi memanjat pohon itu, tuo gadih yang berada di bawah mulai berdinggung dan bersaut berdinggung. Dinggung itu terus dilantunkan sampai pada dahan jerambang atau ketika hampir sampai pada manisnya madu.
Setelah pantun disampaikan barulah pemanjat menuju dahan-dahan yang dihinggapi lebah sialang. Jika ada manisnya madu maka dia (pemanjat) akan mengabari orang-orang yang berada di bawah pohon.
"Kabar juga diberikan melalui pantun," ujar Sobri.
Jika ternyata di atas pohon sialang madunya banyak, lantas pemanjat tadi akan meminta dikirim wadah melalui tali yang ditarik ke atas. Setelah wadah itu sampai proses pemanenan baru dimulai.
Proses memanen madu itu menggunakan parang. Kemudian madu dimasukkan ke wadahnya. Setelah terisi penuh, wadah itu kemudian diturunkan.
Terkadang ketika sudah sampai di atas pohon, terkadang pemanjat keasyikan menurunkan madu. Saking asyiknya sampai-sampai lupa di sekitar mereka banyak penghuninya seperti datuk belang atau harimau.
Induk gadih atau tuo gadis dan anak gadis akan mengingatkan dan berteriak. Mereka minta pemanjat tadi melemparkan madu untuk dikasih ke harimau. "Supaya kita sama-sama dilindungi," kata Sobri.
Proses memanen madu ini terkadang berjalan lama. Bahkan sampai membuat pemanjat merasa lelah, lapar dan haus. Dari atas, pemanjat tadi akan berteriak meminta dikirim bekal berupa kue talam dan nasi ketan menggunakan tali.
Sementara itu ketika proses turun, pemanjat akan mengabari dengan bahasa mereka sendiri, yang artinya bahwa pengambilan madu sudah selesai. Walaupun mungkin yang lain masih ada atau tersisa di atas maka dilain waktu dapat diambil kembali.
Setelah pemanjat kembali ke bawah, lantas para gadis dan tuo gadih mulai mengisi bekal rantang atau lengkang dengan madu sebagai bekal mereka untuk dibawa pulang.
Tradisi sastra lisan Diggung ini memiliki filosofi gotong royong dan kerja sama, nilai kepercayaan antarsesama. Dalam prosesi memanjat juga ada pantunya untuk menyapa lebah (sialang) yang bersarang.
Kini, seiring perkembangan zaman, tradisi lisan Dinggung ini sudah mulai jarang dilakukan. Selain karena semakin sedikitnya jumlah penutur tradisi ini, keberadaan pohon Sialang juga makin sulit ditemukan.
Â
Advertisement
Bangkitkan Kembali Sastra Lisan Dinggung
Kantor Bahasa Provinsi Jambi menggelar kegiataan "Revitalisasi Sastra Lisan Dinggung" di Dusun Rantau Pandan Kabupaten Bungo, Jambi. Aktivitas revitalisasi ini dilakukan dengan menerapkan pemberdayaan berbasis komunitas tutur.
Revitalisasi ini melibatkan 43 penutur muda dengan rentang usia 12-18 tahun dan lima orang guru master. Regenerasi penutur dilakukan dengan cara belajar bersama maestro sastra lisan Dinggung. Belajar ini sudah dimulai sejak bulan Februari 2022.
Belajar bersama ini akan diakhiri dengan penyerahan kembali penutur muda Dinggung kepada Pemkab Bungo, yang akan digelar pada Sabtu (2/7/2022) di Rantau Pandan, Bungo. Tradisi ini akan dipentaskan oleh maestro dan para penutur muda.
Ketua TIM Revitalisasi Sastra dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi Ristanto mengatakan, kegiatan revitalisasi ini adalah tindak lanjut dari nota kesepakatan antara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Pemerintah Kabupaten Bungo.
Sastra lisan Dinggung berdasarkan hasil kajian vitalitas kata Ristanto, mengalami kemunduran. Hal ini ditandai masih adanya penutur tradisi di atas sepuluh orang dan semuanya berusia lanjut, hanya diwarisi dalam keluarga.
"Hanya beberapa generasi muda sudah menguasai pertunjukan, tapi jarang ditanggap, masih digunakan dalam ranahnya. Kemudian tidak ada aturan pelindungan dan bersaing dengan sastra lisan yang lebih menarik," ujar Ristanto.
Dinggung ini dipilih untuk direvitalisasi berbasis komunitas karena tradisi sarat dengan nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan berbagi. Selain itu, tradisi ini memiliki nilai leluhur dalam menjaga kelangsungan ekosistem pohon dan lebah.
Â
Simak video pilihan berikut ini: