Walhi Jabar Sebut Co-Firing Biomass Berpotensi Mengancam Lingkungan

Biomassa justru dianggap berpotensi menimbulkan masalah lingkungan secara global.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 08 Nov 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2022, 09:00 WIB
PLTU Indramayu, Biomassa
Sejumlah petani yang tergabung dalam Masyarakat Jatayu (Jaringan Anti Asap Indramayu) menggelar aksi damai di depan PLTU Indramayu 1, Jumat (21/10/2022). Di antaranya memegang poster bertulisan "Co-Firing Is False Solution".

Liputan6.com, Bandung - Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Jawa Barat, Wahyudin, menilai bahwa skema co-firing biomassa yang diterapkan di PLTU justru bukan solusi substansial untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembakaran batu bara. Skema itu disebut tetap menimbulkan potensi masalah lain menyangkut lingkungan.

Skema co-firing biomassa secara praktik dipahami sebagai mencampur atau “mengoplos” batu bara dengan biomassa cangkang sawit, sekam padi, dna pelet kayu 1-10 persen. Metode ini diklaim sebagai salah satu strategi pemerintah untuk transisi energi dan metode netral  karbon.

Wahyudin dalam keterangannya belum lama ini, mengabarkan, dari 35 PLTU yang sudah menerapkan metode co-firing salah satunya adalah PLTU Indramayu 1 berkapasitas 3 x 330 MW, terletak di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra.

PLTU tersebut telah beroperasi sejak 2011 dan kabarnya telah melakukan co-firing biomassa pelet kayu. Skema itu disebut berpotensi memperpanjang dampak negatif dari PLTU.

“Sejak tahun 2020, PLTU Indramayu 1 telah melakukan skema co-firing Biomassa. Tidak dapat dibayangkan bagaimana aktivitas tersebut berdampak pada pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan warga sekitar,” kata Wahyudin beberapa waktu lalu.

Lebih jauh lagi, lanjut dia, aktivitas tersebut bisa turut berkontribusi terhadap pemanasan global yang berujung perubahan iklim. Sebelum skema so-firing dilakukan, aktivitas pembakaran batu bara sudah serius dialami warga sekitar.

Selain dampak aspek ekonomi dan kesehatan warga, praktik co-firing ini juga dinilai berpotensi menambah beban keuangan negara. Saat ini, kondisi jaringan listrik Jawa-Bali dianggap sudah over supply dan angka over supply ini diprediksi akan mencapai 61 persen di tahun 2030. Kondisi ini dinilai akan menghambat masuknya energi bersih terbarukan dan berkelanjutan seperti angin dan surya ke dalam angka bauran energi.

“Skema ini merupakan ancaman yang serius karena aktivitas penebangna hutan untuk lahan bahan baku palet kayu ini berkontribusi terhadap peningkatan suhu global dan tidak menutup kemungkinan terjadinya bencana ekologis,” tandasnya.

 

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya