Perang Topat Simbol Kerukunan Masyarakat Islam dan Hindu di Lombok

Perang topat digelar satu tahun sekali oleh masyarakat penganut Islam Wetu Telu dan umat Hindu dari suku Bali.

oleh Tifani diperbarui 21 Jan 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2023, 18:00 WIB
Perang Topat
Perang Topat menceritakan damainya masyarakat Lombok Barat mempraktikkan hidup dalam keberagaman.

Liputan6.com, Lombok - Perang topat atau perang ketupat merupakan tradisi masyarakat Lombok, terlebih suku Sasak. Perang ini dilaksanakan bukan untuk menunjukkan kebencian atau perselisihan, melainkan kegiatan yang penuh suka cita.

Dikutip dari laman warisanbudaya.kemendikbug.do.id, tradisi ini merepresentasikan keharmonisan hidup dalam keberagaman. Perang topat digelar satu tahun sekali oleh masyarakat penganut Islam Wetu Telu dan umat Hindu dari suku Bali.

Pelaksanaan upacara ini berpusat di Pura Gaduh dan Kemaliq Lingsar yang terletak di dalam Taman Pura Lingsar, Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Pura Gaduh adalah tempat sembahyang umat Hindu, sedangkan Kemaliq merupakan tempat suci bagi muslim di Desa Lingsar.

Tradisi ini biasanya digelar setiap bulan purnama pada tanggal 15 hitungan masyarakat Sasak. Lebih tepatnya saat purnamaning sasih keenam masan ngaro, ketika para petani menanam padi di sawah.

Warga Lombok membagi satu tahun menjadi dua musim, yakni kemarau (masan balit) dan penghujan (masan ujan). Sebab, masyarakat menanam padi dilakukan pada musim hujan, maka Perang Topat juga dilaksanakan waktu musim hujan.

Rute tradisi penuh suka cita ini dimulai dari rumah pemangku Hindu, lanjut ke Amangku Kemaliq Lingsar. Kemudian menuju pelataran Kemaliq dan Pura Lingsar, alun-alun Taman Lingsar, Pura Lingsar dan Aik Mual Lingsar. Ritual penutupan perang dilakukan di mata air Sarasuta.

Perang topat termasuk yang paling ramai dihadiri dibandingkan ritual keagamaan lain. Perang Topat diadakan dengan pengharapan memperoleh keberkahan dari sang Wedi (Tuhan) serta keselamatan dan kenyamanan untuk para arwah leluhur.

Keberkahan itu didapati melalui air suci Kemaliq yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, misalnya makan, cuci kakus, dan bercocok tanam. Selain itu, tradisi ini terus dilestarikan dengan harapan penduduk diberikan kesehatan, kesejahteraan keluarga, terhindar dari segala penyakit, curah hujan yang turun cukup, kesuburan tanah baik, sumber air kemaliq mengalir deras, cocok tanam berhasil, dan lainnya.

Masyarakat yang mengikuti perang topat berdiri di dua titik. Umat Hindu Sasak berdiri di atas pura, sedangkan umat Islam di depan pintu Kemaliq. Sesuai namanya, alat perang yang digunakan adalah topat alias ketupat. Masyarakat muslim dan Hindu saling melempar ketupat ke arah lawan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya