Seni Ubrug, Kesenian Teater Khas Banten yang Sarat Improvisasi

Kesenian ubrug dibagi menjadi empat bagian atau babak

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Apr 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2023, 17:00 WIB
Pantai Carita Kembali Sepi Wisatawan
Seorang pria menjajakan dagangannya di sekitar pantai Carita, Pandeglang, Banten, Selasa (18/1/2022). Objek wisata Pantai Carita yang menjadi tempat favorit pengunjung kini tampak sepi seusai gempa beberapa waktu lalui dan juga lantaran naikknya kasus virus covid 19 varian omicron. (Liputan6.com/Joh

Liputan6.com, Banten - Ubrug merupakan jenis teater tradisional yang lahir dan berkembang di Banten. Kesenian ini memadukan unsur komedi, gerak atau tari, musik, dan sastra (lakon) dengan pola permainan longgar.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kesenian ini memiliki kemiripan dengan beberapa kesenian di wilayah lain, seperti lenong (Betawi), longser (Jawa Barat), ketoprak (Jawa Tengah), dan ludruk (Jawa Timur). Kemiripan tersebut terletak pada sifatnya yang anonim, digelar di arena terbuka, serta mengandalkan improvisasi.

Kesenian ubrug dibagi menjadi empat bagian atau babak. Istilah pada masing-masing babak atau bagian bisa saja berbeda untuk beberapa wilayah di Banten. Salah satu istilah pembagian babak pada kesenian ini adalah tatalu, nandung, bodoran, dan lalakon.

Semakin berkembangnya ubrug, kesenian ini pun sering kali tidak sesuai pakem. Misalnya, adanya musik modern yang dimainkan pada permintaan ini. Hal itu tentu saja disesuaikan dengan permintaan penonton.

Meski demikian, kesenian ini tak pernah mati. Justru, seni ubrug semakin hidup dan berkembang di masyarakat setempat.

Dalam bahasa Sunda, kata 'ubrug' berarti bangunan darurat atau tempat bekerja sementara selama beberapa hari, seperti untuk kepentingan hajatan atau pesta. Hal tersebut mungkin saja berkaitan dengan seni ubrug yang dahulu dimainkan dengan berpindah-pindah tempat dengan membuat bangunan sementara untuk pertunjukan.

Dalam buku acara Pekan Teater Tradisional terbitan Pembinaan Kesenian Depdikbud bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (27 September sampai dengan 1 Oktober 1977), istilah 'ubrug' senada dengan kata 'saubrug-ubrug', 'sagebrugan', dan 'sagebrugna' dalam bahasa Sunda. Kata-kata tersebut berarti bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur.

Penamaan ini diberikan karena isi cerita atau lawakan dalam ubrug diungkapkan secara spontan tanpa sutradara. Pemain hanya diarahkan terkait tema dan garis besar isi cerita oleh pimpinan ubrug.

Beberapa tokoh kesenian mengatakan, pada awal pertumbuhannya, seni ubrug diadakan sebagai kompensasi dari beban berat bekerja di sawah dan ladang. Pertunjukannya pun diadakan di sawah atau ladang perkebunan sehabis panen.

Pementasan tersebut dilakukan di atas tanah dengan memanfaatkan gubuk dari anyaman daun rumbia. Awalnya waditra yang digunakan adalah satu kendang besar, dua kendang kecil (kulanter), satu gong kempul, dan satu ububan.

Namun, kini waditra yang digunakan berubah dan diganti dengan goong angkeb, kecrek, rebab, dan tiga kenong. Selanjutnya, seni ubrug mulai berkembang sebagai saraba hiburan dalam acara hajatan, seperti pernikahan, khitanan, peresmian gedung baru, dan sebagainya.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya