Among-Among, Tradisi Rayakan Hari Lahir ala Masyarakat Jawa

Dalam penanggalan Jawa, masyarakat mengenal lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 06 Mei 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2023, 15:00 WIB
Yogyakarta
Tugu Golong Gilig, sebagai ikon Kota Yogyakarta

Liputan6.com, Yogyakarta - Among-among adalah sebuah tradisi untuk memperingati hari kelahiran seseorang berdasarkan penanggalan Jawa. Beberapa masyarakat menyebut tradisi among-among dengan sebutan 'wetonan'.

Mengutip dari gilangharjo.bantulkab.go.id, tradisi ini dilaksanakan oleh seseorang tepat pada 'weton' atau 'hari pasaran' kelahirannya. Dalam penanggalan Jawa, masyarakat mengenal lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Kemudian dikalikan dengan 7 hari Masehi, maka akan ada 35 hari dalam penanggalan Jawa atau yang disebut ‘selapan’. Oleh karena itu, among-among dilaksanakan tiap selapan sekali, bukan setahun sekali.

Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang. Sebagian masyarakat menganggap tradisi ini sebagai salah satu adat dari ‘kejawen’, yakni kepercayaan yang dilestarikan di daerah Keraton Yogyakarta.

Namun, kini among-among hanya dianggap sebagai tradisi saja karena tidak termasuk dalam ritual keagamaan. Masyarakat Jawa yang masih mempertahankan tradisi leluhurnya biasanya masih melaksanakan tradisi ini.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Asal Kata

Sementara itu, 'among-among' berasal dari kata ‘pamomong’ yang berarti ‘ngemong’ atau mengasuh. Pengasuh dalam hal ini adalah Tuhan, tetapi ada juga yang mengartikannya sebagai malaikat atau roh yang dipercaya hidup bersama dalam setiap diri manusia.

Among-among sebenarnya merupakan wujud doa untuk seseorang yang masih hidup dan bersifat individu. Doa tersebut juga divisualkan melalui sajian makanan yang mengandung makna filosofis tersendiri.

Beberapa sajian yang ada pada tradisi among-among adalah jenang, tumpeng, golong, nasi gurih dan sambal gepeng, kothok atau sayur kluwih, pisang raja dan pulut setangkep (sesisir), gudangan, tukon pasar atau jajan pasar, patlepet dan kembang wangi, serta kembang wonang-waning dan wijikan. Selain itu ada juga aneka lauk seperti sayur tempe, mi kuning dan mi putih, tumis buncis, tempe goreng, telur rebus, dan lainnya.

Macam-macam makanan tersebut disajikan dalam wadah kecil yang bernama ‘sudhi’. Selanjutnya, sajian ini diletakkan berjajar di atas tikar atau karpet.

Pemilik rumah akan mengundang seorang kaum rais atau sesepuh yang 'alim' untuk membacakan doa-doa. Selanjutnya, patlepet akan ditaruh di tempat di mana ari-ari dahulu dikuburkan atau ‘bebatur’. Sementara itu, sajian lainnya akan dibagikan kepada tetangga sekitar.

(Resla Aknaita Chak)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya