Liputan6.com, Bekasi - Tatapannya kosong, pikirannya pun menerawang. Heri Lesmanto, pemilik usaha kuliner bakso dan mi ayam dengan nama warung Bakso Raksasa di Bekasi mengaku bingung kaitan kelanjutan usahanya. Belum lagi belasan pekerja yang menggantungkan kehidupannya lewat warung bakso tersebut.
Heri bercerita, belum lama ini didatangi petugas dari PUPR dan beberapa pihak kaitan rencana pembebasan lahan untuk kelanjutan Tol Becakayu sesi 2 di Jalan H Joyo Martono, Margahayu, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Baca Juga
Perasaan campur aduk dan ketakutan pun seolah terus menggelayut di kepala dan jantungnya. Perasaan serupa juga dirasakan sang istri.
Advertisement
"Ada yang datang ngukur, nggak ada komunikasi, tiba-tiba orang PUPR dan Apprasial hanya memberikan amplop yang isinya itu harga tanah disitu dan seolah kita harus menyepakati tanpa ada negoisasi atau pertanyaan diminta berapa,"Â katanya kepada Liputan6.com, Minggu (24/3/2024).
Dia melanjutkan, parahnya lagi, petugas yang datang sama sekali tidak memberikan ruang diskusi. Malah seolah mengancam dengan menyebutkan, jika tidak setuju dengan harga yang ditawarkan untuk menggugat ke pengadilan.
"Astagfirullah, ini tuh cara-cara apa, kita seperti kembali ke masa lalu dengan kesewenang-wenangan aja. Ini saya punya sertifikat. Kita coba ngobrol dengan yang bersangkutan, katanya kalau nggak terima silahkan ke pengadilan, apa begini negara hadir buat rakyatnya. Ini kan kaya ngusir aja. Saya cuma tukang bakso," ungkapnya.
Ganti Rugi Tidak Wajar
Lebih jauh dia menjelaskan, dalam pembebasan lahan untuk Tol Becakayu ini tidak hanya dirinya yang gelisah, warga terdampak lainnya juga terus menerus merasa ketakutan. Pasalnya, harga yang ditawarkan jauh dari harga pembelian dan sepihak.
Warga pun protes karena menganggap nominal ganti rugi tidak wajar.
Heri melanjutkan, lahan yang sekarang ini ditempatinya untuk usaha sekaligus tempat tinggal, dibelinya dengan harga Rp18.750.000 per meter pada 2019 lalu. Namun, katanya, oleh tim pembebasan lahan Tol Becakayu, lahannya hanya dihargai kurang dari Rp14.000.000 per meter.
"Padahal ini buat komersil nantinya jadi jalan tol, emang kita tinggal di bantaran kali atau menyalahi aturan ini kan semua sertifikat. Ya jelas keberatan atas pergantian pembebasan lahan yang sepihak. Mereka menentukan harga dan saya sebagai pemilik tanah yang sah, harus menerima harga yang sudah ditentukan. Bagaimana ini Pak Presiden Jokowi proyek tolnya, tolonglah," ujarnya.
Usaha Heri sebenarnya dimulai sejak 2008. Kala itu ia mengontrak di sebuah ruko. Lalu pada tahun 2017, dengan menyicil, Heri membeli 4 ruko dan 1 ruko lagi di tahun 2019, dengan total luas 210 meter persegi.
Menurutnya, tim pembebasan lahan sempat meminta bukti transaksi pembayaran lahan, namun Heri mengaku sudah tidak menyimpannya. Satu-satunya bukti transaksi adalah pesan WhatsApp yang masih disimpannya hingga saat ini.
Heri juga kecewa dengan cara tim pembebasan lahan dalam mematok nominal ganti rugi yang hanya sepihak. Menurutnya, saat itu ia bersama warga terdampak lainnya diundang ke sebuah hotel untuk membicarakan ganti rugi.
Namun sesampainya disana, warga justru disodori amplop yang berisi nominal ganti rugi yang sudah ditetapkan. Warga juga diberi tenggang waktu untuk memutuskan, namun tetap tak ada yang bisa diperbuat selain menerima atau berhadapan di pengadilan.
"Ibaratnya nggak niat jual rumah rumah, langsung dibeli tak kasih harga sendiri, mau nggak mau, harus mau. Kalau nggak mau, silahkan ke pengadilan, itulah mosok kita di seperti itu," keluhnya.
Ketua Papmiso Kota Bekasi, Maryanto mengaku geram saat mendengar anggotanya yang seolah mendapatkan intimidasi.
"Bagaimana bukan intimidasi itu, kalau mendengar ceritanya kan warga tidak ditanya dulu atau mencari jalan tengah, eh ini warga disuruh ke pengadilan, sementara mereka sedang bingung akan kehilangan tempat tinggal," kata dia.
Seharusnya, kata dia, pemerintah belajar dari peristiwa pembebasan lahan IKN kemaren yang ramai dan sempat viral di medsos.
"Itu kan kemaren juga begitu di IKN, ada rumah warga adat yang kabarnya disurati karena menempati lahan di IKN jadi harus pergi segera dan batas waktu 7 hari. Tapi setelah viral beda lagi, ini kan kacau. Dan ini juga kurang lebih sama kan, terima nggak harga yang ditawarkan, kalau nggak ke pengadilan, ya warga punya kekuatan apa, sementara mereka kebingungan dan ketakutan," ujar dia.
Dia pun memanngil-manggil nama Jokowi untuk turun langsung melihat apa yang terjadi kaitan pembebasan lahan.
"Ya berharap Pak Presiden bisa langsung melihat kalau di bawah itu ada proses-proses yang dijalankan dengan tidak atau kurang tepat. Semoga Pak Jokowi bisa melihat dan mendengar, ini pelaku UMKM yang selama ini dibanggakan pemerintah Pak Jokowi, tapi nasibnya kini seolah mau diusir dari rumahnya karena proyek tol Pak Jokowi," ujar dia.
Advertisement
Warga Mencari Keadilan
Warga terdampak menolak ganti rugi yang dianggap tidak berkeadilan. Pasalnya, tak hanya merugi, para pelaku usaha seperti dirinya, merasa akan mengalami kesulitan dengan tempat usaha baru yang belum tentu memiliki prospek menjanjikan.
"Ibaratnya kita orang usaha, terus diputus. Harusnya kan ini bisa diwariskan ke anak cucu, bisa berpenghasilan dari sini. Kita diputus rezekinya, udah. Harusnya kan ada timbal balik berapa tahun ke depan biar bisa berjalan. Apalagi itu kan proyek nasional, proyek yang nantinya berpendapatan," papar Heri.
Heri tak menampik adanya ketakutan dalam diri warga yang menolak, karena yang dihadapi notabene adalah pemerintah. Pun, pada dasarnya warga mendukung proyek strategis pemerintah tersebut, hanya saja ingin hak mereka juga didengarkan.
"Sebetulnya tidak ada niat untuk menghalang-halangi, cuma ya dengan berkeadilan, dengan penggantian yang selayaknya. Apalagi di sini kan jalan strategis, samping mal, dekat pintu tol, itu secara umum aja harganya pasti lebih tinggi. Para petinggi jangan cuma nyari enaknya sendiri, ngusir orang dengan harga semaunya sendiri," celetuknya.
Harun A Rasyid selaku Ketua RW 013 Komplek AURI, Margahayu, Bekasi Timur, membenarkan warga di wilayahnya terdampak pembebasan lahan Tol Becakayu. Namun saat ini masih belum ada keputusan final karena warga menolak nilai ganti rugi yang dianggap kecil.
"Pada dasarnya warga saya tidak menolak pembangunan Tol Becakayu. Akan tetapi dalam penentuan nilai ganti rugi hanya dilakukan sepihak oleh tim Becakayu," ujar Harun.
Menurutnya, pada 18 Maret 2024, warga terdampak sempat diundang untuk sosialisasi penentuan ganti rugi. Namun saat datang, warga dibuat heran karena nilai ganti rugi sudah ditetapkan, dengan kata lain hanya sepihak.
Namun keterangan dari Tol Becakayu, penetapan ganti rugi sudah berdasarkan UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
"Akan tetapi di dalamnya ada pembangunan yang bersifat komersil. Untuk itu warga kami sebagian besar ada yang menolak dalam hal penentuan harga tanah per meter yang dilakukan sepihak oleh tim Becakayu," jelas Harun.
Meski ingin melanjutkan upaya hukum, namun warga masih kebingungan harus melapor kemana dan ke siapa. Terlebih masa sanggah 14 hari yang disiapkan Tim Becakayu, dianggap hanya sebuah kamuflase seperti pengalaman warga terdampak lainnya.
"Karena kebanyakan yang sudah-sudah menurut pengalaman yang sudah tergusur di sebelum-sebelumnya, itu hal yang tidak mungkin kami melawan daripada tim Tol Becakayu ini," tandasnya.
Sementara itu, BPN Kota Bekasi tim Apprasial pembebasan lahan Becakayu sesi 2 menyebutkan, jika ada penolakan, pihaknya akan bermusyawarah untuk mencari titik temu sehingga pembebasan lahan dan pembangunan sesuai dengan waktu yang ditentukan.