Liputan6.com, Bandung - Pagi hari di kawasan Gunung Tangkuban Parahu. Suasana khidmat berjalin sejuk udara dan wangi sulutan dupa. Ragam hasil bumi aneka warna ditata sedemikian rupa, menjadi sajen, menjadi tanda syukur atas alam karunia Sang Pencipta.
Gunung tidak hanya dipandang sebagai gundukan gigantik dari proses panjang serangkaian material alam sejak purbakala. Tak juga cuma dilihat sebagai objek ekonomi atau pariwisata yang musti dieksploitasi, tempat kayu tumbuh dan hewan berbiak lalu ditukar belaka lembaran uang.
Tidak sekadar demikian. Gunung adalah suatu amanat agung, "kabuyutan" yang luhur dan harus dihormati. Anugerah Tuhan yang wajib disyukuri, disadari serupa urat yang menyambung kehidupan para leluhur lampau hingga anak-cucu kiwari.
Advertisement
Perspektif demikian di antaranya jadi dasar nilai Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, ritus sakral tahunan yang digelar di gunung api wilayah Kabupaten Bandung Barat, pagi itu, Minggu, 23 Juni 2024.
Sekitar 1.500 orang turut dalam upacara tersebut. Sebagian besar adalah perwakilan masyarakat adat, masyarakat penghayat di pulau Jawa, dan para tokoh lintas agama dan budayawan, pun dihadiri kelompok adat luar pulau seperti dari Bali, Minahasa, dan Dayak Kalimantan.
Di babakan luas yang disepuh halus cahaya langit, dipagari julangan pohonan, mereka semua berjumpa, berbeda-beda tapi sama bersila duduk sejajar. Khusyuk menghayati rangkaian demi rangkaian upacara sakral Ngertakeun Bumi Lamba.
Surya Ujung Utara
Menurut catatan Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, ritus tahunan itu digelar setiap minggu atau radite pertama saat matahari berada di sisi paling utara bumi hendak berangsur ke selatan. Dilihat dari kalender masehi, peredaran itu berlangsung Juni.
Ngertakeun Bumi Lamba merupakan bentuk ritus pembaruan sejak 16 tahun silam. Sebelumnya, dikenal dengan sebutan “Kuwera Bhakti Dharma Wisundarah”, suatu upacara 8 tahunan yang pada masa lalu diselenggarakan oleh “nagara”.
Kata Wisundarah merangkum tiga kata atau cerita tentang Wi (puncak), Sunda (ajaran/Gunung Sunda), dan Rah (ruhani). Menyiratkan harapan bahwa tujuan upacara itu mengantarkan semua pada puncak keruhanian “Sunda”.
Sementara, penamaan Ngertakeun Bumi Lamba dinukil dari satu bab pembuka naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M), kitab era Kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran) tentang ajaran dan aturan bagi masyarakat saat itu untuk mewujudkan kesejahteraan.
“Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sama wong (sa)rat".
(Ini (jalan) untuk kita mensejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, bersih halaman belakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup, selalu sehat, sumbernya terletak pada manusia sedunia).
Advertisement
Amanat Tiga Gunung
Gunung Tangkuban Parahu dipilih menjadi tempat berlangsungnya upacara atas dasar amanat para tetua atau kokolot masyarakat adat Baduy.
Ada tiga gunung yang secara khusus diamanatkan di wilayah Jawa Barat yakni Gunung Gede Pangrango, Gunung Wayang, dan Gunung Tangkuban Parahu. Ketiga gunung itu dinilai sebagai urat kehidupan bagi masyarakat.
Di Jayagiri kawasan kaki Gunung Tangkuban Parahu, misalnya, terdapat hulu Sungai Cikapundung. Lalu di Gunung Wayang terdapat hulu mata air Sungai Citarum.
Sementara, Gunung Gede Pangrango adalah tonggak pengingat Kerajaan Pajajaran. Di sana, terdapat wilayah bernama Suryakencana, gelar penguasa yang dikisahkan mampu menyelaraskan ajaran leluhur dengan perkembangan zaman.
Gunung Tangkuban Parahu, wilayah Jayagiri, dalam naskah-naskah kuno dan literasi ilmiah modern disanyalir, merupakan pusat Gunung Sunda Purba. Dalam Prasasti Kabantenan, malahan disebut menjadi mandala dan leuweung larangan atau hutan yang disucikan.
Upacara sakral ini bagian dari bentuk mulasara kabuyutan atau merawat tempat suci. Gunung adalah kabuyutan yang harus dijaga kesuciannya.
"Ini adalah yang ke-16 kalinya, upacara yang diamanatkan oleh kokolot dari Kenekes Baduy, tepatnya Jaro Daina untuk merawat dan meruwat tiga gunung, salah satunya Gunung Tangkuban Parahu," kata ketua pelaksana upacara Ngertakeun Bumi Lamba, Sofian.
Pada Windu Kedua
Menurut pihak penyelenggara, setiap tahunnya ada tema yang diusung pada upacara Ngertakeun Bumi Lamba. Tema itu ditimbang dengan mengacu pada peristiwa yang menjadi penanda tahun itu.
2024 ini, mengusung tema “Kuera Bhakti Jala SuTrah Nusantara”. Istilah Kuera Bhakti menandakan bahwa tahun ini adalah penghujung dari 8 tahun kedua atau windu kedua usia perjuangan Ngertakeun Bumi Lamba.
Istilah tersebut digunakan setiap daur kecil atau sewindu sekali, dihayati sebagai penanda pergantian fase kehidupan manusia.
Jala SuTrah identik dengan Jalasutra, ilmu kekebalan sakti mandraguna. Jala sendiri bermakna “jaring”, sedangkan Su dalam bahasa sansekerta kuno bermakna “yang terbaik”, dan Trah bermakna “garis darah”.
Namun demikian, Trah yang dimaksud tidak berhenti pada ganesh atau ganapati/genetik leluhur yang mengalir di dalam darah, namun juga nilai-nilai dan pengetahuan yang secara temurun diwariskan.
Dapat juga diartikan sebagai Jala Sutra, atau penjaring yang terbuat dari serat sangat halus, lembut dan membuat nyaman, menyirikan persaudaraan yang sedang coba dianyam lewat oleh perjuangan ini.
Maka demikian, Jala SuTrah Nusantara bermakna jejaring yang terjalin oleh individu dan kelompok yang sama-sama memperjuangkan terpeliharanya ajaran dan kebijaksanaan leluhur Nusantara, terlepas dari latar belakang etnis dan garis darah yang dibawanya.
"Semesta bukan sekedar tempat hidup tapi penopang hidup bagi manusia, maka untuk merawatnya perlu kebersamaan agar semesta terjaga dan lestari," ujar Sofian.
Advertisement
Pataka Nusantara
Tahun ini, upacara itu digelar atas kolaborasi masyarakat atau komunitas adat Kasundaan juga antarpihak lainnya, di antaranya Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, Pijar Menempa Indonesia, Budi Daya, Lievik Atelier, Renjani (Relawan Jelajah Negeri), STDI (Sekolah Tinggi Desain Indonesia), ISI Surakarta prodi Senjata Tradisional Keris, Sagara Creative House, dan lainnya.
Tata cara dan bentuk rasa syukur dalam upacara Negetakeun Bumi Lamba tersebut diungkapkan lewat beragam artikulasi seperti sajen hasil bumi, lantunan mantera, musik sakral, gerak tubuh, dan lainnya.
Beberapa rangkaian acara di antaranya adalah kirab sajen, mipit amit sabda pangbakti, mager mandala dan sirih pinang, rajah, sawer tirta suci, pemijaran Pataka Nusantara.
Tentang pemijaran Pataka Nusantara, Taufik Aditya Utama dari Pijar Menempa Indonesia, mengatakan, pataka adalah pusaka utama atau simbol agung kerajaan. Tahun ini, Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba bersama Yayasan Pijar Menempa Indonesia menggagas pembuatan Pataka Nusantara.
Proses penempaan awal pataka menjadi bagian rangkaian acara. "Ini proses awal ibarat peletakan batu pertama," katanya kepada Liputan6.com.
Pembuatan Pataka Nusantara direncanakan rampung pada 28 Oktober mendatang. Tepat pada Hari Sumpah Pemuda itu pataka akan diberikan kepada negara. Pataka tersebut akan menjadi hasil tangan para penempa muda, juga para pandai besi se-Nusantara.
"Pada prosesnya kita akan datangi saudara se-Nusantara terutama pandai besi," aku Taufik.
Pataka terakhir yang diwarisi oleh nenek moyang bangsa Indonesia, Kerajaan Wilwatikta, adalah Pataka “Sang Dwija Naga Nareswara” yang kini statusnya milik The Metropolitan Museum of Art 1000 5th Avenue, New York, USA.
Pataka Nusantara secara visual didasarkan pada logo IKN Nusantara yang dibuat oleh Aulia Akbar. Pada bagian bilah pataka terbuat dari logam pamor serta gagang kayu jati sebagai simbol jati diri dari kekuatan bangsa Indonesia.
"Tiga jenis logam yang disatukan, besi baja dan nikel. Nantinya akan pula ditambahkan material lain seperti perak," jelas Taufik.
Alung Sajen dan Kajaroan
Puncak acara dari Upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah Alung Sajen. Semua hasil bumi yang sebelumnya dikumpulkan dari berbagai tempat itu dikirab pada sebuah jampana bambu berbentuk perahu.
Sejumlah orang, tua-muda, lelaki dan perempuan, membawa hasil bumi dengan berjalan kaki sekitar tidak kurang dari 5 kilometer menuju puncak kawah Gunung Tangkuban Parahu.
Bagian upacara adat ini, dipimpin oleh seseorang yang disepuhkan atau dituakan dari Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, Wenda Hermawan atau akrab disapa Mang Wenda.
Ia menjadi Jaro Canoli. Diketahui, dalam pelaksanaan Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, terdapat tatanan pelaksana yang disebut kajaroan, terdiri dari pelantun rajah, penata sasajen (Canoli), dan pembawa upacara (Pangjejer).
Sekilas tentang kajaroan, bahwa sewindu awal peran pelantun rajah, penata sasajen, dan pembawa upacarai diemban oleh Ginanjar Akil atau Mang Gin Gin dengan menyadang sebutan Jaro Manik.
Windu kedua, diangkatlah 3 orang untuk membantu yaitu Mang Wenda sebagai Jaro Canoli, Kosasih atau Mang Ngkos sebagai Jaro Pangjejer, dan Ramadhan atau Mang Dhama sebagai Jaro Wastu.
Tahun ini, sebelum memasuki 8 tahun ketiga, masing-masing Jaro harus memandatkan pelaksanaan upacara pada penerusnya yaitu 2 orang Jaro Canoli, 1 orang Jaro Pangjejer, dan seorang Jaro Wangi.
Hingga pada windu keempat akan diangkat seorang Jaro Surya yang didampingi oleh 3 Jaro Canoli dan 1 Jaro Pangjejer. Setelah purna 32 tahun atau Tepung Dawur, maka tidak akan ada lagi kajaroan sebab pelaksanaan upacara harus memasuki babak baru yang lebih mandiri.
Advertisement
Mengalung Syukur
Kirab jampana itu sampai di puncak kawah Gunung Tangkuban Parahu. Semua hasil bumi, dari mulai bebuahan, sayur dan bunga itu diletakan di tepi pagar pembatas kawah.
Mang Wenda duduk bersila di depan sajen, diikuti rombongan lainnya. Sebelum hasil bumi itu dilempar ke arah kawah, Mang Wenda memandu rombongan untuk hening terlebih dahulu.
"Kita bukan sedang membuang makanan atau melempar sampah, tapi ngalungkeun atau memberi kalung kepada buyut. Nganuhunkeun, berterima kasih, sebab apa yang kita makan ini memang berasal dari buyut," kata Mang Wenda.
Mang Wenda juga menegaskan, mereka tidak sedang memberi makan gunung atau makhluk gaib, tapi semata menjadi salah satu bentuk ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas semua karunia-Nya.
"Sebagai orang gunung kita berterima kasih dengan cara ngalung, sebagaimana orang pinggiran sungai maupun laut yang berterima kasih dengan melarung. Ini simbol penghormatan kita kepada semesta," ujarnya. "Mari kita lepaskan, juga melepaskan keburukan agar mendapat kebaikan," imbuhnya.
Setelah hening, hasil bumi itu dibagikan kepada semua rombongan. "Jempana ini memang kecil, hasil bumi yang terbawa secukup ini adanya, semua orang harus mendapat dan menggenggam bagiannya," katanya.
Lalu dalam suasana khidmat, Mang Wenda pun mengalungkan hasil bumi itu ke kawah Gunung Tangkuban parahu, diikuti para rombongan.
Mereka mengembalikan segala yang sebelumnya telah digenggam itu ke tempat semula hasil bumi tumbuh, kepada alam. Prosesi Alung Sajen ipun menutup rangkaian ungkapan syukur pada upacara sakral Ngertakeun Bumi Lamba.