Liputan6.com, Gorontalo - Nelayan Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo secara tidak langsung mulai merasakan dampak positif dari pengelolaan perikanan Gurita (octopus cyanea) yang dilakukan secara berkelanjutan. Mereka menerapkan sistem buka tutup di areal tangkap dengan tujuan meningkatkan bobot gurita agar bisa masuk kategori ekspor.
Tujuan dari sistem itu juga untuk mempertahankan siklus hidup gurita yang singkat, memberikan kesempatan gurita untuk tumbuh dan berkembang agar tangkapan mereka bisa terukur. Alhasil, ketahanan ekonomi suku pengembara laut terbesar di dunia ini mengalami perubahan yang signifikan.
Advertisement
Baca Juga
Hal tersebut terbukti dari hasil penangkap mereka yang dilakukan pada Rabu 8 Mei 2024 lalu. Saat itu merupakan hari pertama mereka melakukan penangkapan, setelah penutupan selama enam bulan diterapkan sejak 4 November 2023 hingga 7 Mei 2024 lalu.
Lokasinya penangkapan gurita yang dibuat sistem buka tutup itu dilakukan di Pulau Torosiaje Besar dan Pulau Torosiaje Kecil. Di dua pulau itu, ada tiga titik lokasi yang menjadi tempat penangkapan gurita, yang masing bernama, Lana Bonda, Lana Darat dan Lana Mbok Meo. Wilayah itu pun dijadikan daerah perlindungan laut (DPL) gurita.
Hanya membutuhkan waktu 2-3 jam, mereka berhasil menangkap gurita dengan total mencapai 57 kilogram. Setiap orang nelayan gurita berhasil menangkap 5 sampai 6 ekor, dengan bobot rata-rata mencapai lebih dari 1 kilogram.
Padahal, mereka hanya menggunakan Pocong, Katang dan Panah yang merupakan alat tangkap tradisional untuk menangkap gurita yang mereka gunakan sejak dulu.
“Saya berhasil tangkap yang 2 kilogram. Sebelum ada sistem buka tutup, gurita yang kita tangkap hanya mencapai berat 0,3 sampai 0,9 kilogram saja,” kata Abdul Khalik Mappa, Ketua Kelompok Sipakullong, salah satu kelompok nelayan yang fokus menangkap gurita.
Lelaki 56 Tahun itu bercerita, saat ini rata-rata harga gurita sebesar Rp. 40 ribu per kilogram. Jika dijumlahkan dengan tangkap paling sedikit, misalnya 5 ekor dengan bobot 1 kilogram.
Dengan begitu, setiap nelayan bisa mendapatkan Rp 200 ribu per hari ketika semua gurita itu dijual. Dalam sebulan, jumlah pendapat kotor dari tangkapan gurita itu bisa mencapai Rp 6 juta (dalam 30 hari).
Namun, kata Abdul Khalik, nelayan gurita yang ada di desanya ini tidak setiap hari melakukan penangkapan gurita. Cuaca buruk, kenaikan permukaan laut, dan dampak perubahan iklim lainnya menjadi salah satu pertimbangan bagi kelompok pengembara laut ini.
Meski begitu, Ia memperkirakan pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) yang diperoleh dari hasil tangkapan gurita di Desa Torosiaje berkisar antara Rp3.000.000 hingga Rp4.000.000, nilai ini lebih tinggi atau berada pada rentang dari Upah Minimum Regional (UMR) di Provinsi Gorontalo.
Artinya, sistem buka tutup di area tangkap gurita memberikan dampak ekonomi keluarga kepada suku yang kerap dijuluki sebagai penyelam handal ini.