Liputan6.com, Berlin - Dimaz Ibrahim tak pernah membayangkan Jerman sebagai tujuan awal untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Semula, dia ingin melanjutkan studi teknik di Malaysia.
Namun, tingginya biaya kuliah dan hidup membuat keluarganya mempertimbangkan alternatif lain.
Advertisement
Baca Juga
"Suatu waktu, bapak saya bertemu kawannya yang di Jerman. Dia bilang coba saja kuliah di Jerman, engineering-nya bagus dan biayanya lebih terjangkau," tutur Dimaz khusus kepada Liputan6.com, Selasa (28/1/2025).
Advertisement
Biaya kuliah di Jerman, ungkap Dimaz, relatif lebih murah dibandingkan di Malaysia karena banyaknya subsidi dari pemerintah. Jadilah Dimaz membulatkan tekad terbang ke Negeri Panzer.
Sebagai mahasiswa internasional, Dimaz harus lebih dulu mengikuti Studienkolleg, program persiapan yang wajib bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di universitas-universitas Jerman.
Selanjutnya, Dimaz pun jadi mahasiswa teknik elektro (electrical engineering) di Hochschule Hannover. Tidak berhenti di situ saja, dia kembali menuntut ilmu untuk jenjang magister di RWTH Aachen University, salah satu universitas teknik ternama di Jerman.
Lantas, apa kabar Dimaz hari ini?
Dia kini menetap di Kota Hannover dan berkarier sebagai consultant engineer di salah satu perusahaan otomotif terkemuka Jerman. Dalam perannya, dia bertanggung jawab atas pengembangan fungsi kendaraan, sebuah bidang yang selaras dengan latar belakang pendidikannya.
Meski hidup di perantauan, Dimaz tetap aktif berorganisasi. Dia menjadi ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jerman, terlibat sebagai pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Jerman, hingga pengajian.
Keunggulan Pendidikan di Jerman
Pendidikan di negara-negara maju selalu menarik dicermati. Terkait hal ini, Dimaz membeberkan penilaiannya tentang keunggulan pendidikan di Jerman dan memberikan catatan khusus bagi pendidikan di Indonesia.
"Mahasiswa Indonesia sebenarnya lebih unggul di awal karena pelajaran dasar eksakta di SMA sudah lebih mendalam. Namun, di semester akhir, mahasiswa Jerman memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih terasah, membuat mereka lebih cepat dalam menyerap ilmu," jelasnya.
Dimaz sangat mengapresiasi model kolaborasi triple helix di Jerman, yaitu sinergi antara akademisi, industri, dan pemerintah, yang bertujuan menciptakan inovasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan keahlian dari ketiga sektor tersebut.
"Kemajuan di sini bukan karena orang Jerman lebih unggul, tapi karena efisiensi, kedisiplinan, dan sistem yang matang," ujar ayah satu anak ini.
Menurut Dimaz, masih banyak yang perlu diperbaiki di Indonesia jika ingin meniru keberhasilan Jerman dalam membangun ekosistem pendidikan dan industri yang maju.
"Banyak faktor yang harus dibenahi, seperti sektor kesehatan, pengembangan teknologi, kematangan industri, dan lainnya," terang Dimaz, seraya menekankan bahwa kunci utama perubahan terletak pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
"Di sini, manusianya bisa disiplin dan negaranya berkembang salah satunya karena konsekuensi yang jelas dan tegas."
Pembenahan SDM sendiri harus dimulai dari sektor pendidikan.
"Sistem pendidikan sekolah harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Semua ini harus dilakukan secara paralel dengan dukungan dari industri dan pemerintah," kata pria kelahiran 3 Februari 1988 ini.
Suka Duka Sebagai Diaspora Indonesia di Jerman
Hidup di negeri orang, jelas dihadapkan pada tantangan baru, termasuk cuaca. Sebagai orang yang tumbuh di negara dua musim, Dimaz pun harus beradaptasi dengan suhu dingin.
"Saya datang (ke Jerman) pas lagi hujan salju. Itu benar-benar pengalaman yang berbeda," ujarnya.
Tantangan emosional tak kalah pelik bagi Dimaz mengingat dirinya jauh dari keluarga - support system yang senantiasa dirindukannya.
"Jarak yang jauh, membuat kami minim mendapat dukungan fisik dan mental dari keluarga. Anak kami juga belum terlalu mengenal keluarga besar karena hanya bisa bertemu saat liburan setahun sekali," kisah Dimaz.
Hal lainnya yang dirindukan Dimaz adalah masakan khas Nusantara.
"Di sini nggak enak makanan lokalnya," ungkap dia sembari tertawa.
Adaptasi lain yang dijalani Dimaz adalah menyangkut karakteristik orang Jerman yang dikenal tidak suka basa-basi - kebalikannya dengan orang Indonesia.
"Secara natural, orang Jerman itu individualis, agak dingin, dan sangat to the point. Kadang, perbedaan karakteristik ini berpotensi menimbulkan miskomunikasi," sebut Dimaz.
Memahami karakteristik tersebut diyakini Dimaz menjadi kunci integrasi.
"Budaya individualis mereka membuat kita jadi lebih mandiri dan jelas dalam bekerja. Setelah dapat memahami hal tersebut, kita akan menjadi lebih mudah dalam beradaptasi dengan lingkungan di sini," ujar dia.
"Di sini orangnya sangat direct, tidak bertele-tele. Awalnya kaget, tapi lama-lama saya jadi ikut terbiasa. Sekarang malah merasa hidup jauh lebih simpel karena tidak perlu banyak basa-basi."
Ada yang menantang, ada pula yang menguntungkan.
Hidup di Jerman dirasakan Dimaz lebih stabil, khususnya soal kesehatan, pendidikan, dan dunia kerja.
"Saat masih mahasiswa, banyak benefit yang bisa dimanfaatkan, sehingga mempermudah kehidupan awal di sini. Selain itu, sistem kerja di sini cukup manusiawi—semuanya adil," cerita Dimaz.
Dukungan finansial dari pemerintah Jerman juga salah satu yang disyukuri Dimaz.
"Di Jerman, anak bisa mendapatkan uang bulanan hingga usia 18 tahun. Biaya kuliah juga sangat ringan karena hanya perlu mengembalikan 50 persen dari dana yang diberikan," jelas Dimaz.
Soal kesehatan, Dimaz mengatakan, "Selama masih di bawah umur, anak bisa ikut asuransi orang tua. Bahkan, proses melahirkan gratis karena semua ditanggung oleh asuransi. Dengan sistem universal health care seperti ini, kami tidak perlu terlalu khawatir soal biaya kesehatan."
Â
Â
Advertisement
Indonesia Selalu Jadi Tempat Pulang
Dimaz memberikan saran bagi generasi muda Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan atau berkarier di Jerman.
"Mulailah belajar bahasa dan memahami budaya Jerman. Kuatkan juga keterampilan yang relevan karena saat ini Jerman semakin terbuka bagi pekerja asing, terutama melalui berbagai program vokasi yang tersedia," tutur Dimaz.
"Di sini ada program vokasi yang mencakup berbagai bidang, baik teknik maupun non-teknik. Kesempatan ini sangat cocok bagi generasi muda yang ingin bekerja dan berkarier di Jerman."
Lebih lanjut, Dimaz mengabarkan bahwa Jerman tengah kekurangan tenaga kerja di sejumlah sektor, menandai peluang emas bagi siapapun yang berminat.
"Sektor pelayanan seperti perhotelan dan keperawatan sangat membutuhkan tenaga kerja. Selain itu, sektor IT juga memiliki banyak peluang," beber Dimaz.
Tak peduli seberapa maju dan nyamannya Jerman, niat Dimaz untuk pulang ke tanah air selalu ada.
"Sampai saat ini, saya masih ingin menghabiskan masa tua di Indonesia. Kalaupun ada kesempatan berkarya dengan baik di Indonesia, saya terbuka," imbuhnya.
Â
Â