24 Januari 1916: Lahirnya Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman wafat pada 28 Januari 1950, yakni sekitar satu bulan setelah pengakuan kedaulatan.

oleh Harun Mahbub diperbarui 24 Jan 2025, 14:11 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2025, 14:11 WIB
Ilustrasi pahlawan nasional, Jenderal Soedirman
Ilustrasi pahlawan nasional, Jenderal Soedirman. (Photo on Freepik)... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Jenderal Besar Raden Soedirman atau Jenderal Soedirman adalah Panglima Besar TNI sekaligus pahlawan revolusi nasional yang berperan penting bagi Indonesia. Sosoknya sangat disegani oleh pasukannya.

Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Soedirman lahir di Dukuh Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah, pada 24 Januari 1916. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat sederhana, tetapi memberikan bekal yang berarti untuk kehidupannya.

Saat bayi, Soedirman diangkat oleh pamannya yang tidak memiliki anak, Raden Tjokrosunarjo. Saat itu, pamannya merupakan seorang camat atau asisten wedana Kecamatan Rembang. Setelah pensiun, mereka pindah ke Cilacap.

Soedirman tak mengetahui bahwa dirinya adalah anak angkat. Ia baru mengetahuinya pada 1934, atau sesaat sebelum Raden Tjokrosunarjo meninggal dunia.

Pada 1923, Soedirman masuk ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap. Selain mendapatkan pendidikan formal, Soedirman juga diajarkan nilai-nilai keagamaan, adat-istiadat, serta kesederhanaan dan kesopanan.

Pada 1932, Soedirman melanjutkan pendidikan lanjutan di Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Wiworotomo. Soedirman mendapatkan didikan dari guru-guru yang merupakan tokoh pergerakan anti-Belanda, seperti R. Sumoyo, R. Suwarjo Tirtosupono, dan R. Moh. Kholil.

R. Sumoyo adalah salah satu tokoh Budi Utomo. Sementara R. Suwarjo Tirtosupono adalah seorang lulusan Akademi Militer Breda di Belanda yang tidak mau menjadi tentara KNIL dan memilih menjadi orang pergerakan. Adapun R. Moh. Kholil adalah seorang tokoh Muhammadiyah dan ahli dalam bidang agama.

Dari mereka, Soedirman mendapatkan pelajaran tentang paham dan gerakan nasional, kedisiplinan dan jiwa kemiliteran, dan ajaran- ajaran agama.

Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO pada 1935, Soedirman masuk organisasi Kepanduan Hizbul Wathon (HW), yakni salah satu organisasi Islamis yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Terdapat tiga program dan kegiatan di HW, yaitu program pendidikan rohani sebagai wahana pembentukan karakter, pendidikan jasmani untuk pengembangan kesehatan dan kekuatan fisik, dan program karya bakti sebagai wujud pengamalan para anggota pandu.

Soedirman lalu melanjutkan pendidikan di Muhammadiyah Solo selama satu tahun saja. Hal itu lantaran kondisi ekonomi yang tak mendukung.

 

Menjadi Guru

Pada 1936, Soedirman kembali ke Cilacap dan diangkat menjadi guru di H.I.S Muhammadiyah Cilacap. Masih di tahun yang sama, Soedirman lalu menikah dengan Alfiah.

Istrinya adalah puteri R. Sastroadmodjo di Plasen Cilacap. Mereka berteman sewaktu sekolah di MULO Wiworotomo.

Setelah menikah, Soedirman semakin aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Ia terpilih sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) Jawa Tengah.

Adapun di dunia militer, Soedirman mengawalinya dengan bergabung bersama Lucht Bescherming Dienst (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara di Cilacap. Ia ditunjuk sebagai kepala LBD di Cilacap.

Hingga Jepang menguasai Indonesia, Soedirman tetap menjadi kepala LBD. Namun, pada masa Jepang jabatan LBD dihapus.

Soedirman kemudian mendaftarkan diri sebagai anggota PETA dan mengikuti pendidikan Daidancho di Bogor Angkatan II. Setelah menyelesaikan pendidikan di Bogor, Soedirman diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) di Daidan Kroya.

Dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Jepang secara resmi membubarkan PETA dan Heiho. Tidak lama berselang, kemudian atas maklumat yang dikeluarkan Soekarno, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Sesuai instruksi, Soedirman kemudian membentuk BKR di Banyumas dan menjadi pimpinan umum. Pada tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah kemudian mengubah BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Soedirman dipercaya menjadi Panglima Tertinggi TKR saat usianya masih 29 tahun.

Meski belum resmi dilantik, Soedirman sudah aktif memimpin perlawanan, termasuk mengerahkan pasukannnya untuk menyerang Inggris dan Belanda di Ambarawa yang ingin menjajah kembali Indonesia. Ia bersama pasukannya juga harus melawan serangan dari dalam.

Berbagai perlawanan dilalui oleh Jenderal Sudirman hingga ia sakit. Namun, Jenderal Sudirman tetap aktif memimpin perlawanan.

Pada 18 Desember 1945, Soedirman dilantik secara resmi menjadi Panglima Tertinggi TKR. Atas pelantikan tersebut, akhirnya Soedirman resmi mendapat gelar sebagai seorang jenderal.

Jenderal Soedirman wafat pada 28 Januari 1950, yakni sekitar satu bulan setelah pengakuan kedaulatan. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pada 10 Desember 1964, Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya