30 Januari 1917: Lahirnya Pahlawan Pemimpin Puputan Margarana I Gusti Ngurah Rai

I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Cilangsari, Kabupaten Badung, Bali, pada 30 Januari 1917.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 30 Jan 2025, 09:00 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2025, 09:00 WIB
Mengenal 6 Pahlawan dalam Mata Uang
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Lahir di Bali 30 Januari 1917 dan wafat 20 November 1946. Perang terkenal yang dipimpinnya disebut Perang Puputan. Namanya kemudian diabadikan dalam nama bandar udara di Bali, Bandara Ngurah Rai (Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Perang Puputan Bali atau Perang Margarana adalah peristiwa besar yang melibatkan rakyat Indonesia dan Belanda. Dalam pertempuran habis-habisan yang terjadi di Desa Marga pada 20 November 1946 tersebut, sosok I Gusti Ngurah Rai menjadi pemimpin yang memiliki kedudukan sangat penting dalam kemenangan bangsa Indonesia.

I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Cilangsari, Kabupaten Badung, Bali, pada 30 Januari 1917. Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, ia menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Denpasar dan dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Malang sampai kelas dua.

Pada 1936 ia mengikuti pendidikan calon perwira, Officer’s Opleiding Corps Prayoda, di Gianyar Bali selama empat tahun. Setelahnya, ia diangkat sebagai komandan seksi di tangsi Prayoda Denpasar.

Pada 1941, ia mengikuti pendidikan khusus Lucthdeel Artelerie di Magelang dan ditugaskan menjadi perwira penghubung pertahanan Belanda untuk Jawa-Bali. Setahun setelahnya, ia pindah ke Jawa Tengah karena adanya serangan Jepang di Bali.

Pada 1942-1945 atau saat masa pemerintahan Jepang, Ngurah Rai bekerja sebagai agen Mitsui Bussan Kaisha (MBK) untuk Bali dan Lombok. Ia dan kawan-kawan lama dari Prayoda melakukan gerakan bawah tanah, termasuk dengan I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Wayan Debes yang bergabung dengan PETA di Bali yang dapat memperluas jaringan pergerakan mereka.

Setelah Jepang kalah, sejumlah tokoh pemuda berkumpul di rumah Ngurah Rai, Kayumas Bali. Mereka memutuskan untuk segera menyingkir ke gunung agar tak ditangkap Belanda.

Mereka juga menyusun rencana untuk menyerang asrama dan merebut senjata Jepang, tetapi gagal. Kemudian pada 14 Desember, Jepang melakukan penangkapan terhadap pemuda pejuang.

Tiga hari kemudian, Wijaya Kusuma, Wisnu, Wayang Ledang, Cokorda Ngurah, Wayang Debes, dan Ngurah Rai bertemu. Tokoh-tokoh tersebut mendiskusikan rencana selanjutnya dan memutuskan untuk meminta bantuan Markas Besar TKR di Yogyakarta.

Tiga tokoh berangkat ke Jawa, sedangkan dua tokoh lainnya tetap di Bali untuk mengorganisir gerakan. Rombongan Ngurah Rai berlayar sambil bergerilya dengan perahu jukung dari pantai Gesing menuju Banyuwangi pada malam hari dan tiba pada 1 Januari 1946.

Perahu tersebut mendarat di Pantai Wongsorejo, sekitar 20 kilometer dari utara Banyuwangi. Dari sana mereka ke Jember dan Malang.

Setelah bertemu Bung Tomo di Malang, rombongan naik kereta api menuju Yogyakarta. Saat itu, pemerintahan RI baru saja pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, sehingga mereka berkesempatan bertemu dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman, Kepala Staf Umum Jenderal Oerip Soemohardjo, Presiden Sukarno, Menteri Pertahanan, dan pejabat tinggi lainnya.

 

Komandan

I Gusti Ngurah Rai kemudian ditetapkan sebagai Komandan Tentara Republik Indonesia (TRI) Sunda Kecil oleh Oerip Soemohardjo. Pangkatnya dinaikan dari Mayor menjadi Letnan Kolonel.

Ia juga diangkat menjadi ketua Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) yang membawahi semua kekuatan sosial politik dalam masyarakat dan laskar-laskar rakyat. Ngurah Rai di Jawa berhasil mendapatkan bantuan berupa senjata, peluru, dan pasukan yang terdiri dari ALRI Armada V Jawa Timur pimpinan Kapten Markadi, Pangkalan X ALRI pimpinan Kapten Waroka, dan anggota korps Polisi Jawa Jawa Timur yang berasal dari Bali pimpinan Ida Bagus Mahadewa, BPRI (Bung Tomo), TRI bagian udara, dan Palang Merah Indonesia.

Dengan bantuan tersebut, diadakan ekspedisi perjuangan dari Jawa ke Bali. Selanjutnya, ekspedisi 3 April 1946 dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing dipimpin oleh Waroka, Markadi Poerdjirahardjo, dan Ngurah Rai.

Rombongan Waroka dan Markadi bertolak dari pelabuhan Banyuwangi, sedangkan rombongan Ngurah Rai yang berjumlah 45 orang berlayar dari Pantai Muncar. Mereka menuju Pantai Yeh Kuning dengan menggunakan 15 perahu jukung milik nelayan Muncar dan Bali.

Saat pagi hari, dua kapal patroli Belanda menyerang sebuah perahu yang terpisah dari rombongan. Sementara itu, tujuh jukung berhasil tiba di Yeh Kuning.

Sementara itu, tujuh jukung lain yang membawa Ngurah Rai kembali ke Pantai Muncar setelah mengetahui serangan Belanda. Pada malam berikutnya, rombongan ini kembali ke Bali. Tiga jukung yang dipimpin Ngurah Rai mendarat di Yeh Kuning dan sisanya di pantai Pulukan.

Sesampainya di Bali, rombongan mengadakan konsolidasi. Pasukan Ngurah Rai menuju selatan dan kemudian membuat markas di Tabanan.

Pasukan Markadi akhirnya juga bergabung dengan pasukan Ngurah Rai setelah mendapat tekanan terus-menerus dari Belanda. Kedua pasukan itu pun selalu mendapat serangan dari Belanda, sehingga markasnya selalu berpindah-pindah.

Pada 16 April, Ngurah Rai bersama para pemimpin perjuangan membentuk Markas Besar Oemoem Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil. Ini adalah gabungan TRI Sunda Kecil dan badan-badan perjuangan di Bali yang berkedudukan di Munduk Malang di bawah pimpinan Ngurah Rai.

Mulai 29 Mei, DPRI mengadakan long march Gunung Agung dari sebelah Barat (Bengkel Anyar) ke Timur dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian penduduk dan membagi perhatian pasukan NICA.

Dalam perjalanannya, jumlah personel DPRI terus bertambah. Hampir di setiap daerah yang dilalui terjadi pertempuran dengan pasukan NICA. Pada 31 Juli, rombongan tiba kembali di Bengkel Anyar dan perjalanan pun berakhir.

Pada 1946 atau pasca perjanjian Linggarjati, Belanda mulai menjalankan taktik devide et impera terhadap wilayah-wilayah di luar, khususnya Indonesia timur. Taktik ini dilakukan lewat proyek Negara Indonesia Timur (NIT) di bawah inisiasi H.J. van Mook.

I Gusti Ngurah Rai tentu menentang rencana ini. Ia pun berupaya menghalangi penyelenggaraan Konferensi Denpasar yang akan diadakan pada 18 Desember. Konferensi itu dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari hasil Konferensi Malino di Sulawesi Selatan yang dihadiri 70 orang dari Indonesia Timur.

Untuk menjamin keamanan konferensi, NICA menjalankan operasi ke seluruh daerah Bali. Pada 20 November 1946 terjadi pertempuran di Desa Marga yang akhirnya dikenal sebagai peristiwa Perang Puputan Bali atau Perang Margarana.

Peristiwa tersebut mengakibatkan gugurnya Ngurah Rai bersama 96 anak buahnya. Atas perjuangan dan jasa-jasanya, pemerintah kemudian menetapkan I Gusti Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden No.063/TK/tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975.

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya