Ini Prediksi Mandiri Sekuritas untuk Pasar Obligasi pada 2022

PT Mandiri Sekuritas melihat tiga risiko yang masih membayangi pasar obligasi pada awal 2022.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Feb 2022, 15:23 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2022, 15:23 WIB
Syariah, Dolar AS, Saham, Obligasi? Optimalkan Potensi Tumbuh Dana Anda.
(Foto:Ilustrasi)

Liputan6.com, Jakarta - PT Mandiri Sekuritas memprediksi pasar obligasi akan diuji lagi resiliensinya pada 2022. Sentimen suku bunga the Fed hingga COVID-19 bayangi pasar obligasi.

Hal tersebut disampaikan Head of Fixed Income Research  PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto dalam jumpa persnya bersama para wartawan secara virtual, Rabu, (23/2/2022).

Handy berpendapat meskipun pasar obligasi sudah mencatatkan imbal hasil hampir 30 persen pada 2019 dan 2020, pasar obligasi Indonesia masih memberikan kinerja yang positif pada 2021, ada pertumbuhan sebesar 5,4 persen.

Berdasarkan perhitungan indeks return obligasi pemerintah oleh Bloomberg, obligasi masih memiliki ketahanan di tengah gejolak pengurangan kebijakan stimulus moneter oleh the Fed yang dikenal dengan istilah tapering dan munculnya varian COVID-19 baru yang turut menekan pemulihan ekonomi global, serta terjadinya kenaikan inflasi karena supply disruption dan kenaikan harga-harga komoditas.

Ada tiga risiko yang menurut Mandiri Sekuritas masih membayangi pasar obligasi pada awal  2022, tiga risiko besar di pasar modal masih akan menghantui, yaitu:

1. Normalisasi suku bunga oleh the Fed,

2. Ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di China, dan

3. Perkembangan varian baru COVID-19.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Emerging  Market (EM), posisi Indonesia relatif baik, dalam arti tidak yang paling jelek, meskipun bukan yang paling bagus.

Hal ini tercermin dari vulnerability index yang disusun oleh Mandiri Sekuritas, yang dihitung berdasarkan beberapa indikator makro variables seperti Currrent Account Balance, FX reserve, Inflasi, Public Debt dan External Public Debt, persentase ekspor ke China dan vaksinasi.

"Semakin besar skor negatif berarti semakin vulnerable negaranya, sementara jika skornya semakin tinggi berarti semakin aman. Indonesia ada di peringkat 10 yang terbaik dari 25 negara EM," kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Perkembangan Positif Obligasi setelah Pandemi

Ilustrasi Obligasi
Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Mandiri Sekuritas melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi Indonesia setelah pandemi ini, yaitu:

1. Ketergantungan asing semakin berkurang dimana porsi asing di pasar obligasi terus turun hingga ke bawah 20 persen dari posisi tertinggi sempat di atas 40 persen.

Selain itu, saat ini investor asing yang berinvestasi di obligasi juga lebih merupakan long term investors. Hal tersebut tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia yang meningkat dari sebelumnya hanya 17 persen menjadi 26 persen.

2. Dukungan (support) dari  investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama permintaan dari investor institusi non bank ataupun dari retail. Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari sebelumnya sebesar 15 persen menjadi 10 persen.

Selain itu, likudiitas yang melimpah tercermin dari rasio pinjaman dan simpanan (loan to deposit ratio-LDR) yang terus menurun, sehingga mendorong permintaan obligasi oleh investor lokal terus meningkat.

3. Secara valuasi, bond yield Indonesia juga memberikan real yield yang paling tinggi dibandingkan negara-negara  berkembang lainnya.

Kebijakan prudent fiskal yang akan mengembalikan defisit anggaran maksimal 3 persen terhadap PDB pada 2023, juga dinilai akan berdampak positif bagi pasar obligasi Indonesia karena ini bisa menurunkan supply surat berharap negara (SBN) ke depannya.

Sebagai ilustrasi, pada 2020, waktu defisit fiskal mencapai di atas 6 persen dari GDP, pemerintah harus menerbitkan obligasi mencapai lebih dari Rp 1.500 triliun untuk membiayai defisit anggaran belanja negara.

"Namun tahun ini, dengan asumsi defisit anggaran hanya 4,1 persen dari GDP, maka penerbitan obligasinya turun menjadi Rp1,100tn," kata Handy.

Pada tahun ini, Bank Indonesia juga masih akan melakukan burden sharing dengan membeli obligasi pemerintah di pasar perdana,  dengan target pembelian sebesar Rp 214 triliun melalui mekanisme private placement, sehingga target lelang obligasi juga turut berkurang.

Faktor Lain

20151117-Pasar-Modal-Jakarta-AY
Peserta mengikuti cara berinvestasi Mandiri Skuritas di Bursa Efek Jakarta, Selasa (17/11). Mandiri Sekuritas terus mendorong pertumbuhan jumlah investor pasar modal di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Faktor lain yang bisa menurunkan target penerbitan surat utang tahun ini adalah potensi optimalisasi pengunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL), yaitu akumulasi dari exces financing dari tahun-tahun sebelumnya, yang nilainya mencapai Rp 333 triliun pada awal 2022.

"Kesimpulan kami, pasar obligasi akan kembali diuji resiliensinya. Kami perkirakan ada potensi kenaikan yield SBN tahun ini, tapi kami melihat ini merupakan opportunity bagi investor untuk mendapatkan entry level yang lebih bagus," kata dia.

Jika Indonesia bisa terus memperbaiki kondisi eksternal, dan menjaga balance of payment tetap positif, serta menjaga inflasi tetap terkendali, Mandiri Sekuritas memerkirakan dalam jangka panjang arah yield SBN akan turun menjadi lebih rendah lagi hingga di bawah 6 persen akan sangat terbuka.

Namun, ada beberapa risiko yang bisa menyebabkan yield obligasi lebih tinggi dari perkiraan perseroan, antara lain:

1. Jika Bank Sentral Amerika (The Fed) melakukan kenaikan suku bunga lebih agresif dari perkiraan.

2. Jika terjadi kenaikan kasus Covid, yang bisa memicu masalah supply disruption dan berpotensi terjadinya risiko stagflasi (inflasi tinggi tetapi ekonomi melambat).

Di masa stagflasi kinerja pasar modal baik itu obligasi ataupun saham biasanya akan turun. Salah satu yang masih bisa naik adalah komoditas seperti emas.

"Saran kami, dengan masih tingginya volatilitas, maka diversifikasi investasi harus dilakukan untuk meminimalkan risiko," kata dia.

 

Reporter: Elizabeth Brahmana

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya