Konflik Rusia-Ukraina, Indonesia Bakal Untung Berkat Kenaikan Harga Komoditas

Pasokan komoditas dari Rusia kepada dunia perlu digantikan oleh negara-negara pesaingnya. Salah satunya untuk batu bara adalah Indonesia.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 28 Feb 2022, 11:49 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2022, 11:49 WIB
FOTO: Ekspor Batu Bara Indonesia Melesat
Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Ekspor batu bara menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi mencapai 70,33 persen dan kenaikan hingga 168,89 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - - Indonesia sebagai negara yang kaya komoditas dinilai memiliki posisi strategis atas konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina. Sejumlah pengamat pasar modal memproyeksikan hal tersebut akan mendorong optimisme harga komoditas, pasar modal dan ekonomi di Tanah Air.

Founder of Forum Saham, Tape Trader8 & Beta Trader Yuzha Sha menjelaskan tulang punggung ekspor dari Rusia adalah komoditas. Mulai dari minyak, gas, batu bara, hingga barang mineral hasil olahan tambang seperti tembaga, berlian dan emas.

Konflik geopolitik Rusia-Ukraina mendorong kekhawatiran menipisnya pasokan nikel dunia. Lantaran, pada 2021 saja ekspor nikel Rusia menurun 66,5 persen menjadi 45.400 ton dari 135.000 ton pada tahun sebelumnya. Sedangkan Indonesia adalah salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.

Menurut data badan survei geologis Amerika Serikat (AS) atau US Geological Survey, produksi nikel Indonesia mencapai 1 juta metrik ton pada 2021 atau menyumbang 37,04% nikel dunia.

"Ini akan menjadi salah satu potensi yang menjadikan ekonomi Indonesia hebat kembali. Karena seperti yang kita tahu bahwa key resource yang ada di dunia ini, sebagai contoh untuk nikel hanya ada beberapa country yang mempunyai jutaan ton di dalamnya," ujar Yuzha dalam acara Investment Talk bertema Ekonomi Indonesia Hebat, yang digelar secara daring oleh D 'ORIGIN Financial & Business Advisory dan IGICO Advisory, Minggu, 27 Februari 2022.

Ia menambahkan, belum ada yang bisa menggantikan energi semurah coal. "Jadi memang ini menarik terutama untuk komoditi baik itu nikel, coal, cooper, aluminium dan lain-lain," kata dia.

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Dorong Super Siklus Komoditas

FOTO: Ekspor Batu Bara Indonesia Melesat
Kapal tongkang pengangkut batu bara lepas jangkar di Perairan Bojonegara, Serang, Banten, Kamis (21/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor produk pertambangan dan lainnya pada September 2021 mencapai USD 3,77 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Di sisi lain, karena konflik tersebut Rusia tengah menghadapi sanksi boikot ekonomi dari dunia internasional yang tentunya mengganggu ekspor negeri Beruang Merah tersebut. Sehingga pasokan komoditas dari Rusia kepada dunia perlu digantikan oleh negara-negara pesaingnya. Salah satunya untuk batu bara adalah Indonesia.

Sebagai gambaran, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ekspor batu bara pada 2021 mencapai 435 juta ton. Jumlah ekspor tersebut meningkat tipis dibandingkan dengan pencapaian 2020 yang sebanyak 433,8 juta ton. 

Hal itu, menurut dia bisa kembali mendorong super siklus komoditas yang membuat harga komoditas pada tahun 1950-an hingga 1960-an naik tinggi. Juga pada awal dekade 2000-an. Berkaca pada 2001, penaikan komoditas tersebut berlangsung dalam kurun 3-4 tahun atau maksimal 5 tahun.

Kendati demikian, menurut Yuzha kondisi ekonomi global akan lebih baik jika konflik (invasi Rusia ke Ukraina) segera berakhir. Karena hal itu dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi global pasca terhantam pandemi.  Dia pun menyebutkan, ke depan investor pun harus memperhatikan  faktor lain, yakni pada 2025 Uni Eropa menetapkan kebijakan nir-karbon. Seperti diketahui, batu bara selalu menjadi kontroversi ketika terkait emisi.

“Analisa saya, komoditas memang akan berjaya tetapi potensi akan ada yang sunset komoditas  terutama untuk fuel. Kalau saya akan lebih melihat ke nikel, sebagai alternatif-alternatif komoditas yang telah menjadi bagian dari hidup kita,” ujar dia.

Ia menambahkan, kebutuhan sehari-hari dalam komunikasi, transaksi seperti kebutuhan saat ini, akan kebutuhan penggunana handphone, smart card dan lain lain. Terdapat juga komoditas-komoditas basic yang ada di dalam produk-produk tersebut.

"Hal ini  mempunyai potensi untuk mendorong produksi dan otomatis  mendorong super siklus komoditas terjadi,” kata dia.

Dengan pertumbuhan itu, kata dia, akan mendorong inflasi karena masyarakat lebih konsumtif sehingga membutuhkan banyak uang beredar. Hal ini akan mendorong kebutuhan cadangan emas negara. Yang tentunya akan mengatrol harga logam mulia.  

Adapun soal minyak sawit mentah atau CPO, Yuzha menuturkan akan sangat bergantung pada ketentuan dari Eropa dan mengikuti harga minyak mentah.


Cermati Lebih Dalam

IHSG Awal Pekan Ditutup di Zona Hijau
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dalam acara yang sama Senior Portfolio Manager of Samuel Aset Manajemen Agung Ramadoni mengakui hampir semua harga komoditas dalam kurun satu tahun terakhir meningkat cukup tajam, mendekati level commodity boom pada 2010-2011.

Namun, hal ini perlu dicermati lebih dalam akankah berkelanjutan atau tidak. Hal itu menurut dia akan tergantung dari oil capital expenditure (capex) dari mayoritas perusahaan minyak di dunia. Oleh karena itu, untuk mestimulus mayoritas perusahaan minyak dunia mengeluarkan capex secara progresif, kondisi politik global harus lebih stabil dengan berhentinya konflik di Eropa.  

“Sejauh ini capex mereka dibandingkan dengan 2011 atau 2014 masih terbilang jauh. Dari segi inventory masih sangat rendah. Baik dari copper, nickel, aluminium, dan timah masih terbilang rendah. Masih in early stage bagi commodity price saat ini. Jadi kita tunggu,” ujarnya.

Meski demikian, Agung melihat ekonomi dalam negeri dengan penuh optimisme. Misalnya di sektor ritel yang mulai ada perbaikan sejak 2020 yang jatuh akibat terhantam pandemi.

Dari perbankan, likuiditas melimpah dengan tingkat kredit bermasalah yang terkendali. Hal itu pun mendorong ekonomi pulih lebih baik. Sehingga terlihat dari penjualan produk otomotif dan properti yang meningkat. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya