Liputan6.com, Jakarta - Selisih atau spread suku bunga Bank Indonesia (BI) dan suku bunga bank sentral AS (the Fed) diprediksi semakin tipis. Lantas, bagaimana nasib pasar obligasi Indonesia?
Terkait hal tersebut, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menuturkan, investor asing akan tetap masuk ke pasar obligasi Indonesia meski selisih suku bunga semakin tipis. Sebab, faktor pendorong masuk atau keluarnya aliran modal asing tergantung ekspektasi dari risiko nilai tukar.
Baca Juga
"Apakah kalau spread BI dan Fed sama di 5,75 persen asing akan keluar? Mungkin harus lihat bank sentral lainnya, misalnya Thailand bank sentral rate nya hanya 2,25 persen, Malaysia hanya 3 persen, China 3,45 persen, jadi banyak sekali bank sentral yang memang rate-nya di bawah Fed Fund Rate,” ujar dia dalam Mandiri Economic Outlook, Selasa (22/8/2023).
Advertisement
Dengan demikian, ia menyebut agar Indonesia bisa menjaga neraca transaksi berjalan (current account) maupun inflasi di level rendah. Sehingga, investor asing berminat untuk mengucurkan dana di pasar obligasi Indonesia.
“Meskipun suku bunga BI 5,75 persen, tapi kalau real yield-nya tetap bagus ya tentu ini akan bisa justify spread antara FFR dan BI rate tidak perlu ada premi yang cukup besar seperti periode sebelum-sebelumnya,” kata dia.
Sementara itu, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, aliran modal asing kembali masuk ke dalam pasar obligasi Indonesia seiring optimisme fundamental ekonomi Indonesia yang masih sangat baik. Selama semester I tercatat nett buy investor asing di pasar obligasi sebesar Rp 84 triliun.
Investor Asing Bakal Kembali Masuk
"Kami percaya investor asing masih akan kembali banyak masuk ke Indonesia pada kuartal IV ketika suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) telah mencapai puncaknya di September," ujar pria yang akrab disapa Asmo.
Saat ini, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 15,6 persen dari total, lebih tinggi dibandingkan posisi terendahnya di sekitar 14 persen. Ia melihat potensi yield SBN akan dapat kembali berada di kisaran 6,1 persen -6,3 persen pada 2023 dengan potensi foreign capital inflows tersebut.
Namun, perlu diwaspadai tantangan ekonomi global terutama terkait prospek perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. IMF menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan melambat ke 1,8 persen pada 2023, sementara Tiongkok akan tumbuh 5,2 persen pada 2023, dan melambat ke 4,5 persen pada 2024.
Advertisement
Mandiri Sekuritas Ungkap Minat Obligasi Ritel Tak Kalah dari War Tiket Konser
Sebelumnya, minat investor terhadap obligasi ritel rupanya cukup tinggi. Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto bahkan mengatakan penjualan obligasi ritel tak kalah menarik dibandingkan perang (war) tiket konser. Dalam catatannya, penjualan obligasi ritel berlangsung lebih cepat dari penawaran yang dijadwalkan.
"Sebelumnya selalu lebih cepat. Targetnya itu lebih cepat kesampaian dibandingkan masa book building-nya. Jadi yang laris tidak hanya tiket konser, obligasi ritel juga laris," kata Handy dalam Jumpa Pers Equity and Fixed Income Markets Outlook 2023, Rabu (7/6/2023).
Secara umum, pasar surat utang atau obligasi dinilai memiliki prospek menarik di tengah sinyal suku bunga The Fed yang landai. Perkiraan arah kebijakan suku bunga ini merujuk pada tren inflasi yang juga mulai turun, sehingga Bank Sentral AS atau The Fed tak memiliki alasan kuat untuk terus menaikkan suku bunga acuan secara agresif.
"Konsekuensi dari inflasi yang turun, tekanan suku bunga berkurang. ini positif untuk pasar obligasi. Karena kalau suku bunga sudah tidak naik, biasanya yield obligasi sudah pick. Jadi kita lihat ke depannya yield akan turun berarti harga obligasinya akan naik,” ujar Handy.
Dana Asing
Pada kondisi tersebut, Handy mengatakan aliran dana masuk dari investor asing juga akan tumbuh. Sebagai gambaran, asing mencatatkan net buy 67,8 triliun hingga Mei 2023. Terdiri dari net buy SUN senilai Rp 74,8 triliun dan net sell SBSN senilai Rp 7 triliun.
Ritel mencatatkan net buy Rp 22 triliun, terdiri dari ney buy pada SUN sebesar Rp 2,6 triliun dan net buy SBSN Rp 19,4 triliun. Lainnya mencatatkan total net buy 6,2 triliun, terdiri dari nervus pada SUn RP 1,5 triliun dan net buy pada SBSN Rp 4,7 triliun.
"Asing sudah masuk Rp 70 triliun. Saya pikir ini masih akan masuk lagi karena meskipun asing sudah masuk banyak, sudah relatif terhadap kondisi pre-covid level, tapi asing belum masuk semua,” imbuh Handy.
Advertisement