Liputan6.com, Jakarta - Syailendra Capital mencatat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan kinerja terbaik dibandingkan aset lainnya yakni obligasi korporasi, obligasi pemerintah, dan pasar uang selama Ramadan. IHSG mencatat kinerja positif di atas aset lainnya sebanyak lima kali pada Ramadan dalam 10 tahun terakhir yakni periode 2014-2023.
Dalam laporan Syailendra Research berjudul Ramadan’s Legacy: Investment Insight, dikutip Minggu (17/3/2024), rata-rata kinerja IHSG sebesar 1,31 persen. Kinerja tertinggi diraih pada 2014 yang mencapai 5,03 persen. Sedangkan kinerja IHSG terendah terjadi pada 2019 dengan turun 1,75 persen.
Baca Juga
Adapun kinerja negatif IHSG terjadi pada Ramadan 2015 dan 2019. Hal itu disebabkan perlambatan ekonomi masing-masing 4,79 persen dan 4,97 persen. Sedangkan pada 2020-2021 karena COVID-19 yang menekan pertumbuhan ekonomi masing-masing minus 2,1 persen dan 3,7 persen.
Advertisement
Di tengah kinerja IHSG sepanjang Ramadan, emiten kapitalisasi pasar besar lebih unggul dibandingkan IHSG dengan downside yang lebih minim sepanjang Ramadan 2019-2023.
Pada momen Ramadan 2024, pemulihan saham terus terjadi sejak 2022 hingga kini. Adapun pemerintah memberikan beragam bantuan sosial (bansos) pada 2024 diharapkan mendorong aktivitas konsumsi masyarakat akan jadi katalis. Apalagi anggaran bansos 2024 naik menjadi Rp 493,5 triliun. Bansos itu antara lain BLT El Nino, Bansos Beras, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Program Non Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar (PIP).
“Berdasarkan jumlah penerima, jaminan kesehatan nasional (JKN), bansos beras dan BPNT serta Program Indonesia Pintar jadi prioritas,”
Di sisi lain, pada momen Ramadan, pakaian menjadi barang yang paling banyak dibeli konsumen yang mencapai 81 persen, disusul peralatan rumah tangga sebesar 64 persen, alas kaki sebesar 41 persen, produk kecantikan sebesar 30 persen dan elektronik sebesar 20 persen.
Peluang Investasi
Dengan melihat hal itu, Syailendra Capital melihat peluang investasi pada reksa dana indeks berbasis saham yakni Syailendra MSCI Indonesia Value Index Fund (SMSCI).
Adapun SMI fokus investasi ke emiten bluechip dengan pendekatan value investing yakni low price earning (P/E), low P/B, dan high dividen yield.”Jika menggunakan harga acuan per 13 Maret 2024, emiten di sektor perbankan dan consumer cylical (otomotif) memiliki indikasi dividend yield sebesar masing-masing 4,84 persen dan 8,20 persen,” tulis Syailendra.
Lalu mengapa SMSCI?
Syailendra menyebutkan, terdapat dua sektor di SMSCI yang bobotnya melebihi IHSG yakni sektor infrastruktur terutama telekomunikasi dan sektor consumer baik siklikal dan non siklikal.
“Kinerja SMSCI secara konsisten menggungguli IHSG dan MSCI. Tracking error juga dijaga <2 persen. Selain itu, pembobotan tiap saham dalam SMSCI ditetapkan minimal 80% dan maksimal 120% dari pembobotan MSCI Value Index,”
Advertisement
Strategi Investasi Hadapi Siklus Ekonomi yang Dinamis
Sebelumnya diberitakan, Syailendra Capital menilai investor dapat mengkombinasikan strategi investasi rutin (DCA/dollar cost averaging) dan lump-sum sesuai pasar. Kombinasi strategi investasi ini untuk hadapi siklus ekonomi yang kerap berganti dalam 10 tahun terakhir.
Siklus ekonomi yang dinamis tersebut berdampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan berpengaruh ke reksa dana saham.
Dalam Syailendra Market Insight 16 Februari 2024, dikutip Senin (19/2/2024), dalam 10 tahun terakhir, musim ekonomi berganti-ganti dengan signifikan. Dari 2013 dan 2019, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang moderat dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 5 persen.
Sepanjang periode itu banyak event-event global yang sangat mempengaruhi pasar saham seperti krisis ekonomi Eropa 2005, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai 2018 lalu diikuti dengan krisis ekonomi global akibat COVID-19 pada 2020.
Kemudian pemulihan mulai terjadi sejak 2021 hingga sekarang. Dalam laporan itu disebutkan pasar saham mengalami pergerakan yang sangat volatile dalam 10 tahun terakhir. Hal ini membuat kinerja reksa dana saham secara jangka panjang menjadi kurang baik.
“Namun, jika investor dapat mengkombinasikan strategi investasi secara rutin dan lump-sump sesuai dengan kondisi pasar diharapkan kinerja investasi akan menjadi lebih baik,” demikian disebutkan dalam laporan Syailendra Capital.
Syailendra menilai sangat penting bagi investor untuk memiliki prospek pasar ke depan sebelum menentukan strategi investasi apa yang ingin diterapkan.
Syailendra menambahkan, strategi investasi secara dollar cost averaging memang cukup ampuh dalam memitigasi risiko volatilitas pasar ke depan.
“Sementara itu, strategi investasi secara lump-sum juga penting untuk dilakukan khususnya ketika investor memiliki pandangan pasar akan bullish ke depannya,” demikian dikutip dari Syailendra.
Tiga Skenario
During Berish Market (Maret 2019-Maret 2020)
Pada musim ekonomi resesi, pasar saham mengalami penurunan yang signifikan seiring dengan ekspektasi penurunan laba perusahaan. Jika investor melakukan investasi secara lump-sump pada reksa dana saham, penurunannya akan lebih banyak dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.
U Shape Recovery (Maret 2019-Maret 2020)
Pada musim ekonomi yang mengalami transisi dari perlambatan, resesi, lalu menuju recovery, risiko investasi pada reksa dana saham menjadi lebih tinggi.
Jika investor melakukan investasi secara lump sump pada reksa dana saham, returnnya akan lebih sedikit dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.
Bullish Period (Maret 2020-Maret 2021)
Pada masa perbaikan ekonomi yang signifikan, investor yang berinvestasi secara lum-sum lebih diuntungkan dibandingkan investasi secara berkala (DCA).
Bullish period terjadi pada Maret 2020-Maret 2021 di mana angka pertumbuhan ekonomi sempat mengalami level terendah pada level -5,32 persen pada kuartal II 2020 dan mengalami pemulihan secara signifikan setahun setelahnya dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mencapai level 7,07 persen pada kuartal II 2021.
Syailendra menyebutkan, jika dilihat dari tiga macam skenario pergerakan pasar saham yakni pergerakan bullish, bearish dan u shape recovery, ternyata strategi investasi secara dollar cost averaging memiliki keunggulan dibandingkan strategi investasi secara lump-sump, karena memberikan kinerja yang lebih baik pada dua skenario yakni bearish dan u shape.
“Sedangkan strategi lump-sump hanya unggul jika pasar saham mengalami pergerakan yang bullish saja. Sehingga penting bagi investor untuk menerapkan strategi investasi kombinasi lump-sump dan dollar cost averaging,”
Advertisement