Ipar Adalah Maut: Wajah Perselingkuhan dalam Sinema Lintas Dekade, dari Era Generasi Bunga hingga Utas Viral

Senin (19/8/2024), Hanung Bramantyo mengumumkan Ipar Adalah Maut pamit dari bioskop se-Indonesia. Ia mencetak box office bareng 4.775.135 penonton.

oleh Wayan Diananto diperbarui 31 Agu 2024, 22:04 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2024, 17:45 WIB
Ipar Adalah Maut
Senin (19/8/2024), Hanung Bramantyo mengumumkan Ipar Adalah Maut pamit dari bioskop se-Indonesia. Ia mencetak box office bareng 4.775.135 penonton. (Foto: Dok. MD Pictures)

Liputan6.com, Jakarta Senin (19/8/2024), Hanung Bramantyo mengumumkan Ipar Adalah Maut pamit dari bioskop se-Indonesia bersama 4.775.135 penonton. Populasi penonton sebanyak ini mengantar Ipar Adalah Maut sebagai film Indonesia terlaris ke-10 sepanjang masa.

Menilik daftar film Indonesia terlaris 2024, Ipar Adalah Maut membuka tiga besar. Ia hanya kalah dari Agak Laen (9,12 juta) dan Vina: Sebelum 7 Hari (5,8 juta). Kisah pengkhianatan terbesar sepanjang masa ini jadi film perselingkuhan terlaris dalam sejarah sinema Indonesia.

Ada dua pertanyaan besar menyertai fenomena ini. Pertama, mengapa film Ipar Adalah Maut yang diusung dari utas viral sesukses ini? Kedua, bukankah perselingkuhan tema jadul dalam sinema Indonesia?

Hasil survei Jakpat dan Cabaca (Februari 2022), bertajuk “Perselingkuhan: Ngeselin yang Jadi Trending Topik,” mencatat sekitar 60,29 persen dari total responden tertarik cerita, film atau drama perselingkuhan.

Arvan Pardiansyah dalam situs resminya mencatat ada tiga alasan “Mengapa Cerita Perselingkuhan Begitu Digemari.” Pertama, eskapisme. Dengan nonton film perselingkuhan, publik mendapat kesegaran karena larut dalam cerita. Bahkan tak sedikit yang membayangkan jadi tokoh dalam tragedi itu.

Kedua, tak ingin ketinggalan zaman atau tersisih dari pergaulan. Dalam bahasa Gen Z: FOMO. Saat film Ipar Adalah Maut viral dan hampir semua orang membahas, masa iya Anda rela tak paham lalu gagal nimbrung dalam topik kekinian yang sedang panas?

Terakhir, film sebagai cermin sosial. Yang digambarkan dalam film terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ini membuat penghayatan masyarakat terhadap kisah perselingkuhan terasa lebih intensif.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dari Suzzanna Hingga Sally Marcelina

Michelle Ziudith sebagai Nisa dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)
Michelle Ziudith sebagai Nisa dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)

Disebut jadul, karena tema perselingkuhan selalu ada dalam film Indonesia lintas dekade. Masih ingat Supinah (Suzzanna), istri bernasib tragis dalam megadrama Bernapas Dalam Lumpur (1970)? Supinah menyusul ke Jakarta dengan maksud mencari suami.

Harapan Supinah kandas kala mendapati suaminya punya istri baru. Supinah diusir, terlunta-lunta, lalu terjerat pelacuran dan perdagangan wanita. Adegan ikonis Supinah diperkosa tukang becak membekas di benak pencinta sinema hingga kini.

Melansir data Sinematek Indonesia, 10 Agustus 1970, Bernapas Dalam Lumpur hanya kebagian 5 bioskop di Jakarta. Tapi bayangkan, dalam 15 hari, film ini panen 150 ribu penonton. Tak heran jika sutadara Turino Djunaedi kala itu mengklaim menang perang melawan film impor.

Dekade 1980-an, tema perselingkuhan masih subur. Salah satunya, Bukan Istri Pilihannya karya Edward Pesta Sirait yang “mengadopsi” perjodohan sebagai akar perselingkuhan. Hartomo (Adi Kurdi) terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, Ratih (Ita Mustafa).

Ia lantas mengadu nasib ke Jakarta dan jatuh hati dengan perempuan lain. Sementara itu, Ratih menyambung hidup bersama ibu mertua, (Dhalia). Perputaran nasib mengantar Ratih bertemu Mulyono (Mangara Siahaan).

Berganti dekade, film Indonesia memasuki era “Seksploitasi.” Maka, selingkuh menjadi tema generik yang difotokopi berkali-kali. Bukannya makin jelas, tema selingkuh kian kabur karena yang dikenang penonton bukan perselingkuhan melainkan adegan esek-esek-nya.

Gadis Metropolis (Slamet Riyadi, 1992), misalnya. Mutiara edisi 11 Mei 1993 mencatat film ini berbiaya Rp300 juta dengan memasang tiga bintang panas Sally Marcelina, Febby Lawrence, dan Inneke Koesherawati. Isinya, perselingkuhan dengan beragam orientasi seksual.        

Lisa (Sally Marcelina) main perasaan dengan laki-laki di diskotik. Ini diketahui Jacky (James Sahertian) yang mencintainya sejak lama. Sakit hati, Jacky mengutus dua pria yang kemudian “mengerjai” Lisa.

Saat insiden itu terjadi, Jacky main gila dengan Fanny (Inneke Koesherawati) yang notabene teman Lisa sendiri. Lisa trauma berat. Ia dimanfaatkan Mirna (Bebby Zelvia), wanita lesbian yang terpaksa menikah lalu kesepian. Cerita “ugal-ugalan” semacam ini nyatanya disukai penonton. Ia menjadi film terlaris kelima di Jakarta lantaran mengumpulkan 209 ribuan pononton (menurut data Perfin 1993).

 


Perselingkuhan dan Utas Viral

Davina Karamoy sebagai Rani dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)
Davina Karamoy sebagai Rani dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)

Tahun 2000-an, kita mengenal Layangan Putus The Movie (Benni Setiawan, 2023) yang meraup 1 jutaan penonton. Pencapaian ini disempurnakan Ipar Adalah Maut dengan 4,7 jutaan. Keduanya berasal dari utas di medsos yang viral di tangan warganet.  

Deborah Jones dalam Gossip: Notes On Women’s Oral Culture (1980) mencatat, gosip sebagai kegiatan umum di masyarakat. Memasuki era digital termasuk medsos di dalamnya, orang menggosip tak lagi pakai mulut melainkan jari.

Putri Fransiska dalam Jurnal Cakrawala Hukum (2019) menyebut, internet dan medsos memperluas akses masyarakat terhadap informasi dan pembicaraan tentang perselingkuhan, membuatnya makin menarik. Masyarakat tetap saja takut ketinggalan informasi dan ingin tahu yang dibicarakan orang lain.

Saat kisah viral diangkat ke layar lebar, publik penasaran ingin mengonfirmasi atau melakukan cek silang terkait apa yang dibahas di lini masa tempo hari dengan versi layar lebarnya. Kualitas hasil akhir dan strategi promosi sangat menentukan nasib film tersebut di tangga box office.

 


Segitiga Perselingkuhan

Deva Mahenra sebagai Aris dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)
Deva Mahenra sebagai Aris dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)

Melintasi dekade, perselingkuhan sejatinya selalu ditopang tiga pilar. Pertama, korban yang tentu saja mendulang simpati publik. Kedua, pelaku perselingkuhan. Ketiga, pihak yang dianggap merusak hubungan dalam konteks pacaran maupun rumah tangga.

Pihak ketiga selalu yang paling apes. Citra Rosalyn Anwar dalam Jurnal Emik (2019) mengulas masyarakat memberi label negatif kepada pelaku perselingkuhan, yakni Pelakor (Perebut laki orang) untuk wanita pelaku perselingkuhan atau Pebinor (Perebut bini orang) merujuk pada pria pelaku perselingkuhan.

Jujur saja, pelakor lebih populer daripada pebinor karena budaya patriarki di Indonesia cenderung menganggap wanita sebagai penggoda dan perselingkuhan oleh pria dianggap hal “wajar.” Kosakata pelakor menggema di medsos. Dalam kasus Ipar Adalah Maut, label ini disematkan pada Rani (Davina Karamoy).


Sikap Perempuan Sebagai Korban

Salah satu adegan dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)
Salah satu adegan dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)

Poin penting dalam tema perselingkuhan lintas dekade selalu sama, yakni hukuman bagi pelaku dan bagaimana korban mengambil sikap. Korban pada akhirnya dihadapkan pada dua pilihan yang sama klasiknya: Menerima kembali pasangan yang selingkuh atau berpisah.

Keduanya telah diabadikan dalam sinema Indonesia. Ratih dalam Bukan Istri Pilihannya (1981), memperlihatkan hati seluas samudra dengan membuka pintu maaf untuk Hartomo.

“Bang Mul, lihatlah laki-laki di hadapan kita ini. Dia begitu jijik terhadapku hingga terpaksa lari mengindari aku. Bang Mul senantiasa berpikir bagaimana memberi kepadaku, sedangkan dia tak henti-henti meminta dan menuntut,” ucap Ratih dalam adegan akhir yang menyentuh.

“Sekarang, tidakkah sudah jelas bagaimana keputusanku yang setepat-tepatnya? Tidak patutkah aku memilih dia yang paling lemah? Dia yang paling rapuh? Dia yang paling tidak berdaya?” ungkapnya, menandai pilihan ingin kembali ke pelukan suami.

Lalu, 43 tahun setelahnya, Ipar Adalah Maut memberi batasan tegas tentang memetik hikmah tanpa harus menoleransi perselingkuhan, dalam hal ini Aris (Deva Mahenra). Beralaskan pemahaman agama (Islam), Nisa terkenang sabda Sang Nabi bahwa tak ada kejadian kecuali untuk dipetik hikmahnya. Nisa berjanji kepada diri sendiri untuk mendidik putrinya, Raya (Alesha Fadillah) menjadi wanita berwelas asih sekaligus tegas bersikap.

“Suatu hari nanti, ketika Raya dewasa akan kusampaikan pelajaran ini kepadanya agar dia tidak hanya menjadi perempuan yang baik, tapi juga perempuan yang berpendirian. Bukan hanya menjadi perempuan yang berwelas asih, tapi juga perempuan yang tegas. Bukan hanya menjadi perempuan yang cerdas, tapi juga perempuan yang memegang ajaran agama,” kata Nisa dalam monolog di adegan pamungkas.

 


Babak Akhir Main Gila

Salah satu adegan dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)
Salah satu adegan dalam film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. MD Pictures)

Babak akhir perselingkuhan dalam pernikahan tak pernah jauh dari dua kemungkinan ini. Ipar Adalah Maut sukses bukan semata karena mengulang tema perselingkuhan pada timing yang tepat. Sejak awal saya yakin, genre drama di tangan Hanung Bramantyo akan baik-baik saja. Ipar Adalah Maut melebihi level baik-baik saja.

Ada sejumlah faktor yang mendasari. Pertama, tiga pemeran utama mencapai klimaks di jalur masing-masing. Michell Ziudith (sebagai korban) tiba puncak emosi setelah mengobrak-abrik ruang tamu hingga dapur seraya mempertanyakan di masa saja perselingkuhan Aris dengan adik kandungnya terjadi. Setelahnya, Nisa teringat ranjangnya. Ekspresi dan kedalaman emosinya merefleksikan sakit, kecewa, amarah, dan kecolongan di level paripurna.

Deva Mahenra adalah Aris Layangan Putus versi muka alim. Wajahnya “terlalu baik-baik” untuk selingkuh namun justru di sinilah letak sakit jiwanya. Tepat seperti yang dikatakan Nisa, “Enggak cuma jahat, sakit kamu, Mas!”

Karakter Rani di tangan Davina Karamoy tak lantas menjadi pelakor pada umumnya. Ada sejumlah alasan mengapa ia mengincar Aris dan itu dijelaskan sejak babak pertama dalam adegan-adegan simpel namun sarat makna.

Salah satunya, saat Rani mulai menginap di rumah Nisa dan mendapati Aris cuci piring sendiri setelah makan malam. Sosok Aris mengingatkan Rani pada almarhum ayah yang meninggal saat ia baru berusia lima tahun. Sex appeal Rani saat rambutnya tergerai adalah tanda bahaya yang gagal diantisipasi Aris. Alasan yang cukup kuat untuk Rani dan Aris nekat berbuat meski tetap saja penonton tak menoleransi keduanya.

Setelah adegan keramas yang legendaris itu, tata musik Ricky Lionardi membuat nuansa drama rumahan berubah warna menjadi thriller. Ia efektif mengondisikan penonton ikut kepikrian dan ketar-ketir pada nasib Nisa yang dikangkangi adik sendiri.

 


Aris, Badai Paling Bahaya

Poster film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. Instagram @manojpunjabimd)
Poster film Ipar Adalah Maut. (Foto: Dok. Instagram @manojpunjabimd)

Jurnal The Therapeutic Powers of Movies yang dipublikasikan Frances Aguda, Agustus 2017 menyertakan interviu dengan Birgit Wolz, PhD. Wolz menyebut, film menyampaikan ide lewat elemen emosi dan bukan aspek intelek. Karenanya film dapat menekan perasaan dan memicu pelepasan emosi audiens. Dengan demikian, menonton film dapat membuka pintu emosi yang bisa jadi selama ini tertutup.

Merujuk pada fenomena Ipar Adalah Maut, ada beberapa puncak konflik yang memantik sumbu ledak emosi penonton. Pertama, saat Nisa membuntuti Aris ke hotel dan apesnya gagal membuktikan. Kedua, saat Nisa yang berada di jalan tol menghubungi Aris. Sang suami lupa mematikan ponsel.

Pembangunan konflik lewat proses detail dan menjunjung asas “tak semudah itu” menguak musuh dalam selimut dijahit dengan elemen musik plus kualitas performa pemain. Ini menjadi C-4 yang membuat perasaan penonton meledak.

Hasil survei Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yang dirilis Juli 2021, menyebut masyarakat Indonesia makin religius dengan persentase mencapai 81 persen. Kecenderungannya menajam seiring waktu. Di sisi lain, Juni 2024, RRI mewartakan survei JustDating menempatkan Indonesia di peringkat kedua di Asia sebagai negara dengan kasus perselingkuhan tertinggi. Persentasenya mencapai 40 persen.

Dua data yang ironis sekaligus berbenturan. Dalam Ipar Adalah Maut, benturan ini mewujud dalam sosok Aris. Dosen sosiologi keluarga yang taat beragama namun di tengah jalan gagal mengendalikan syahwat. Dialah yang disebut Manda (Devina Aureel) sebagai “Badai yang paling berbahaya itu, justru yang awalnya enggak kelihatan tanda-tandanya.”

 

 

 

Pemain: Michelle Ziudith, Deva Mahenra, Davina Karamoy, Devina Aureel, dan Alesha Fadillah

Produser: Manoj Punjabi

Sutradara: Hanung Bramantyo

Penulis: Oka Aurora dan Eliza Sifa

Produksi: MD Pictures

Durasi: 2 jam, 11 menit

 

infografis perfilman indonesia
Jumlah produksi film Indonesia, berapa banyak? (Liputan6.com/Trie yas)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya