PHRI Jatim Berharap Wali Kota Terpilih Jadikan Surabaya Kota MICE Sejajar Jakarta

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur, Dwi Cahyono menyampaikan harapannya kepada Wali Kota Surabaya terpilih.

oleh Agustina Melani diperbarui 11 Des 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 11 Des 2020, 20:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Jalan MERR IIC Surabaya, Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur, Dwi Cahyono mengharapkan Wali Kota Surabaya terpilih dapat mengembangkan pariwisata Surabaya, Jawa Timur. Hal ini agar dapat menjadi hub bagi kota lain di Jawa Timur.

"Surabaya nantinya dapat menjadi hub bagi kota lain di Jawa Timur. Baik lewat darat, laut, udara. Posisi Surabaya sebagai kota bisnis, benar-benar dapat menjadi kota Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE),” ujar Dwi saat dihubungi Liputan6.com lewat pesan singkat, Jumat, (11/12/2020).

Ia mengharapkan Surabaya dapat sejajar dengan Jakarta dan Bali dalam penyelenggaraan event MICE bertaraf internasional. Surabaya dinilai belum optimal untuk mengembangkan sektor MICE.

Dwi mengatakan, Surabaya memiliki kendala keseriusan dalam bidding nasional dan internasional baik MICE dan kegiatan.

"Iya. Kita kalau jauh dari Jakarta dan Bali," tutur dia.

Oleh karena itu, ia menilai Surabaya perlu menciptakan venue MICE bertaraf internasional karena sekarang yang ada hanya di Grand City.

Dwi menambahkan, Wali Kota Surabaya terpilih juga harus mampu mempertahankan dan meningkatkan kebershasilan kebersihan dan keindahan kota. “Mengurai kemacetan lalu lintas,” kata dia.

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


PHRI: Jumlah Kerugian Hotel dan Restoran Rp 95 Triliun Saat Pandemi

Ilustrasi
Ilustrasi kamar hotel. (dok. pexels.com/Pixabay)

Sebelumnya, sektor pariwisata mengalami kerugian besar selama corona Covid-19, di antaranya hotel dan restoran. Tingkat okupansi hotel pun menurun, tingkat hunian hotel berbintang rata-rata hanya 14,45 persen pada Mei 2020.

"Lebih dari 2.000 hotel dan 8.000 restoran tutup pada kuartal 2 pada 2020 dengan estimasi kerugian sekitar Rp40 triliun untuk hotel dan Rp45 triliun untuk restoran," kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani dalam diskusi virtual Planet Tourism Indonesia 2020 yang diadakan MarkPlus, Rabu, 29 Juli 2020.

Banyak karyawan yang cuti atau dengan kedudukan cuti yang tidak dibayar, karena perusahaan menunggu permintaan meningkat sebelum kembali beroperasi secara normal.

Diperkirakan potensi pemutusan hubungan kerja 30-40 persen pekerja di sektor pariwisata. Karyawan kontrak terjadi penghentian perpanjangan kontrak dan tidak permintaan untuk pekerja dengan berbagai keterampilan.

Hariyadi juga mengungkapkan bahwa okupansi di Indonesia saat ini masih rendah. Tingkat okupansi hotel di Jakarta sekitar 20 persen, Batam 10 persen, Bali satu persen, Surabaya 15 persen, Makassar delapan persen, Yogya 10 persen, Semarang 15 persen, Medan 10 persen, dan Malang 15 persen.

"Mayoritas pekerja hotel masih dalam kondisi cuti dan cuti yang tidak dibayar. Mayoritas hotel mencatat kerugian dan berkurangnya pekerja," ujar Hariyadi.

Secara umum, kondisi restoran sama dengan kondisi hotel, yaitu rendahnya permintaan, kerugian finansial, dan berkurangnya pekerja. "Restoran yang beroperasi di mal membayar biaya operasional tinggi, sedangkan permintaan rendah dan biaya sewa tinggi. Beberapa restoran mencoba memfokuskan pengiriman online. Hotel dan restoran sudah menerapkan protokol kesehatan Covid-19," papar Hariyadi.

 


Disiplin Protokol Kesehatan

Gambar Ilustrasi Masker Kain
Sumber: Unsplash

Hariyadi menyebutkan beberapa hal yang bisa membuat permintaan agar pariwisata dapat bergerak. "Publik dipastikan bahwa penanganan Covid-19 yang membawa kemajuan positif secara konsisten dan keamanan publik terjamin," imbuh Hariyadi.

Selain itu, saat pemerintah menghentikan aturan yang membatasi pergerakan publik. Permintaan kembali juga akan terjadi setelah aktivitas publik dan mobilitas kembali ke tingkat reguler.

Insentif pemerintah pun harus berdampak ke masyarakat secara tepat berdasarkan kebutuhan mereka. Permintaan akan bertahan dan dapat meningkat dengan pola yang cenderung berubah. Oleh karena itu, diperlukan data analitik untuk mensintesiskan tren saat ini.

Hariyadi juga mengatakan hal lain yang juga sangat penting dilakukan adalah disiplin menerapkan protokol kesehatan. Orang dapat berkegiatan dengan mengikuti protokol kesehatan

"Kami punya banyak contoh kasus, jika diterapkan secara disiplin, maka melakukan kegiatan akan sangat aman. Contohnya, di sektor hotel, banyak anggota kami yang menerima tenaga medis, menerima untuk karantina PTG (pasien tanpa gejala) yang risikonya tinggi, tapi sampai saat ini tidak ada kasus yang ditemukan kasus yang signifikan," kata Hariyadi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya