Pahami Batasan Kebebasan Berekspresi di Ruang Digital

Kebebasan berekspresi di ruang digital yang melampaui batas berpotensi memecah belah persatuan dan melanggar hukum.

oleh Iskandar diperbarui 09 Nov 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2022, 18:00 WIB
Ilustrasi Twitter dan Sosial Media
Ilustrasi Twitter, Jejaring Sosial, Media Sosial. Kredit: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Kebebasan berekspresi boleh dilakukan siapa saja di ruang digital (salah satunya media sosial), selama berlandaskan etika dan tidak kebablasan. Sebab, kebebasan berekspresi yang melampaui batas berpotensi memecah belah persatuan dan melanggar hukum.

Founder Komunitas Pandai Komunikasi Ahmadi Neja dalam webinar bertema 'Merawat Kebhinekaan dalam Bingkai Kebangsaan Melalui Literasi Digital', memaparkan kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia.

Kebebasan berekspresi tak bisa dilepaskan dari kebebasan mencari, menerima, dan berbagi informasi. Kebebasan berekspresi saat ini banyak disalurkan di ruang digital, khususnya di media sosial.

“Tujuan berekspresi di media sosial adalah untuk menjaga relasi sosial, sebagai presentasi diri atau aktualisasi diri, dan bisa juga untuk hiburan menghilangkan rasa jenuh dan bosan,” ucap Ahmadi.

Namun demikian, lanjut Ahmadi, kebebasan berekspresi bukannya tanpa batas. Sebab, ada hal-hal yang dilarang oleh undang-undang dalam berekspresi termasuk di ruang digital sekali pun.

Hal-hal yang dilarang tersebut antara lain menyebarkan pornografi anak, menyebarkan ujaran kebencian, menghasut publik, atau ekspresi bernada rasis dan diskriminasi pada kelompok tertentu.

“Dunia digital adalah dunia kita sekarang ini. Mari mengisinya dan menjadikannya ruang yang berbudaya, tempat kita belajar dan berinteraksi, tempat anak-anak tumbuh berkembang, sekaligus tempat di mana kita sebagai bangsa hadir bermartabat,” ujarnya di webinar yang digelar Kemkominfo bersama GNLD Siberkreasi ini.

 

Perlunya Kecakapan Digital

Mengontrol Diri dari Hoaks
Ilustrasi Penggunaan Media Sosial Credit: pexels.com/AndreaPiacquadio

Pemimpin Redaksi Majalah EDUPOS Cosmas Gunharjo Leksono, menambahkan agar kebebasan berekspresi tidak kebablasan, patut dibarengi dengan kecakapan digital agar tak mudah terjebak kabar bohong atau informasi yang keliru.

Oleh karena itu, menurut dia, setiap informasi yang beredar atau yang diterima harus diperiksa ulang kebenarannya. Ada banyak alat untuk memverifikasi kebenaran sebuah informasi tersebut.

“Selain itu, dalam mengisi konten di ruang digital, prinsip mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa harus dipegang teguh. Semua harus didasarkan pada Pancasila, tuturnya.

Berkat Pancasila, ia menambahkan, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama bisa bersatu hingga kini.

 

Perhatikan 8 Elemen

Membalasnya Lewat Pesan Pribadi
Ilustrasi Penggunaan Media Sosial Credit: pexels.com/pixabay

Terkait keberagaman di Indonesia, Dosen dan Peneliti di Universitas Negeri Jakarta Desi Rahmawati, menyampaikan literasi berdakwah di ruang digital harus memperhatikan delapan elemen.

Kedelapan elemen itu adalah kultural, kognitif, konstruktif, komunikatif, percaya diri, kreatif, kritis, dan bertanggung jawab. Keseluruhannya dirangkum dalam ranah etika digital.

“Etika digital ditawarkan sebagai pedoman menggunakan berbagai platform digital secara sadar, bertanggung jawab, berintegritas, dan menjunjung nilai-nilai kebajikan antarinsan dalam menghadirkan diri, kemudian berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi menggunakan media digital,” ucap Desi.

Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos. (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos
Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya