Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan federal Amerika Serikat/AS menolak permintaan TikTok untuk penghentian sementara undang-undang yang dapat membuat aplikasi dilarang pada Januari 2025.
Putusan tersebut, yang dikeluarkan sebagai tanggapan atas perintah darurat yang diajukan TikTok awal minggu ini, merupakan kemunduran hukum terbaru bagi perusahaan tersebut saat berupaya menghindari larangan total aplikasinya di AS.
Advertisement
Baca Juga
Dalam permintaannya untuk menunda pemberlakuan undang-undang tersebut, TikTok mengindikasikan bahwa pihaknya berencana untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Advertisement
Dikutip dari Engadget, Minggu (15/12/2024), pengacara TikTok juga mengutip kemungkinan Presiden terpilih Donald Trump ingin mengambil pendekatan yang berbeda--mengingat beberapa komentar Trump sebelumnya tentang aplikasi tersebut.
Namun dalam perintah singkat, panel yang terdiri dari tiga hakim menolak permintaan itu, dengan menulis bahwa penghentian sementara aplikasi TikTok 'tidak beralasan'.
Masa depan TikTok sekarang bergantung pada Mahkamah Agung, meskipun tidak ada jaminan pengadilan akan setuju untuk mendengarkan kasus tersebut.
"Seperti yang telah kami nyatakan sebelumnya, kami berencana untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Agung, yang memiliki catatan sejarah tertinggi dalam melindungi hak warga Amerika untuk berbicara dengan bebas," kata TikTok dalam sebuah pernyataan.
"Suara lebih dari 170 juta warga Amerika di AS dan seluruh dunia akan dibungkam pada 19 Januari 2025 kecuali larangan TikTok dihentikan," perusahaan memungkaskan.
Induk Perusahaan ByteDance Buka Suara
Induk perusahaan TikTok, ByteDance, berpendapat aturan tersebut secara tidak adil menargetkan TikTok, dan pelarangan akan melanggar hak Amandemen Pertama para pengguna.
Perusahaan asal Tiongkok tersebut menyebut, penjualan TikTok ke perusahaan Amerika Serikat tidak mungkin dilakukan karena akan menghadapi larangan dari Tiongkok.
Pasalnya pada 2020, Tiongkok memperbarui aturan pengendalian ekspor untuk memberinya lebih banyak wewenang atas transaksi yang mungkin terjadi.
Dalam pernyataan, Electronic Frontier Foundation (EFF) mengatakan pihaknya kecewa dengan keputusan tersebut. "Membatasi aliran informasi bebas, bahkan dari musuh asing, pada dasarnya tidaklah demokratis," kata juru bicara EFF.
"Sampai saat ini, AS telah memperjuangkan aliran informasi bebas dan menegur negara lain ketika mereka menutup akses internet atau melarang alat komunikasi daring seperti aplikasi media sosial," imbuhnya.
Advertisement
Perubahan Sikap Donald Trump Soal Nasib TikTok
ByteDance sebelumnya menyatakan, keputusan dari hakim adalah bentuk penyensoran, mereka pun mengharapkan MA melindungi hak warna Amerika untuk bebas berpendapat.
Sementara itu, para ahli hukum, menurut laporan New York Times, tak melihat adanya jalur hukum yang bisa dilakukan Trump untuk menyelamatkan TikTok, setelah dirinya kembali menjabat pada 20 Januari mendatang.
Selama masa jabatan pertamanya, Donald Trump justru mengeluarkan perintah eksekutif yang membatasi transaksi Amerika dengan aplikasi TikTok, dengan alasan masalah keamanan nasional.
Bahkan, pemerintahan Trump waktu itu menyebut, TikTok bisa menjadi medium pemerintah Tiongkok mengumpulkan data orang-orang Amerika.
Lalu, Microsoft sempat siap membeli TikTok jika diberikan kesempatan. Larangan tersebut mendapat sejumlah tantangan hukum, hingga pada 2021, Presiden Biden mencabut perintah tersebut.
Pada 2024, Trump mengubah pendiriannya pada awal 2024, setelah ia disebut bertemu seorang donatur besar dari Partai Republik yang memiliki saham besar di TikTok.
Perubahan sikap Donald Trump itu makin intensif setelah Biden menandatangani undang-undang yang bisa membuat aplikasi TikTok dilarang pada awal 2025.
Ketika Pemilu berlangsung, Trump dianggap sebagai penyelamat TikTok. Trump dianggap memakai TikTok sebagai isu yang memecah belah untuk menarik pengguna yang lebih muda sebagai pemilihnya.
Infografis Larangan Aplikasi TikTok di 10 Negara Plus Uni Eropa. (Liputan6.com/Trieyasni)
Advertisement