Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menilai propaganda anti tembakau yang dilakukan kelompok anti tembakau di Indonesia tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Perang terhadap tembakau telah berkembang menjadi hal berisi kebohongan dan kerakusan.
“Ilmu pengetahuan sampah (junk science) telah menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). Propaganda tampil sebagai fakta-fakta. Yang jadi korban pertama dalam perang melawan tembakau adalah kebenaran,” kata peneliti KNPK, Zulvan Kurniawan di Jakarta, Senin (21/04/2014).
KNPK meragukan propaganda anti merokok untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Dia mempertanyakan apakah negara ini rela mengorbankan para petani tembakau, industri nasional kretek yang menyerap banyak tenaga kerja, dan jelas-jelas berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan bangsa ini.
Advertisement
“Kita tentu akan mendukung kampanye anti merokok dan kebijakan kesehatan publik jika didasarkan pada kebenaran dan kejujuran. Jika mengorbankan kebenaran dan di atas kebohongan argumentasi demi kepentingan tertentu, jelas tidak kita dukung!,” tukas Zulvan.
Zulvan mengatakan, pernyataan organisasi kesehatan dunia WHO tidak lain daripada propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik, estimasi, tidak lebih dari kebohongan.
Dia menganggap, propaganda anti merokok tidak berdasarkan kebenaran, tidak bertanggungjawab dan liar. Tembakau disebut bukan penyebab dari risiko segala macam penyakit sebagaimana disebutkan WHO selama ini.
Zulvan mendasarkan pada beberapa hasil riset, diantaranya seperti yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002) yang membuktikan, tidak adanya hubungan antara merokok dengan risiko kanker payudara.
Hasil kajian lain yang dikenal dengan sebutan Roll Royce of Studies menjelaskan, tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung seperti dimuat dalam Journal of Critical Epidemology 42, No 8, 1989.
Studi lain seperti tertuang dalam artikel Study Casts Doubt on Heart ‘Risk Factors’. Dalam studi tersebut diungkapkan, studi kardiologi paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan tingkat kolesterol yang tinggi.
“Hasil studi tersebut justru menguak, kegelisahan, kemiskinan, perubahan ekonomi, dan sosial mempunyai hubungan dengan penyakit jantung. Fakta yang terungkap bahwa seseorang yang berhenti merokok namun kehilangan rumah tempat tinggal secara umum berada pada risiko terkena penyakit jantung karena faktor stress,” ujar Zulvan.