Liputan6.com, Buenos Aires - Argentina untuk kedua kalinya kembali mengalami gagal bayar atas sejumlah utang asing miliknya. Ternyata, para pengusaha di Argentina justru memaklumi dampak dari gagal bayar tersebut dan tetap berusaha menyesuaikan diri tanpa diwarnai aksi protes.
Mengutip laman Independent.ie, Senin (4/8/2014), salah satu pengusaha di Argentina, Jose Bini bahkan tidak menunjukkan sikap yang terlalu serius dalam menanggapi kabar gagal baayar tersebut. Dirinya mengaku sudah terbiasa menghadapi serangkaian krisis ekonomi yang terjadi.
Baca Juga
"Kami terbiasa berbisnis seperti halnya sedang naik roller coaster. Saya sudah hidup berbisnis dan melalui dua kali gagal bayar, hyper inflasi, dan kekacauan ekonomi. Saya masih muda dan bisa menghadapinya," ungkap pengusaha yang baru berusia 27 tahun tersebut.
Advertisement
Selain itu, dia menjelaskan, rekan-rekan bisnis Bini telah melarikan fokus bisnis ke luar negeri. Demikian pula, rekan-rekan pengusaha lain tengah bersiap mencari prospek yang lebih cerah di negara lain.
"Argentina akan merasakan dampak dari gagal bayar tersebut, tapi belum sekarang," pungkasnya.
Tak heran, dia mengaku akan tetap menjalankan rencananya untuk mengekspansi bisnis di sejumlah wilayah di Argentina meskipun isu gagal bayar tersebut terus menyeruak.
Meski gagal bayar, tapi kondisi ekonomi Argentina memang berbeda dengan gagal bayar sebelumnya di mana negara tersebut berakhir bangkrut. Saat ini tak ada aksi protes maut dan kemiskinan mengingat Argentina telah lebih siap.
Sejauh ini, kabar gagal bayar tersebut telah menarik turun nilai saham dan obligasi Argentina. Tapi hal tersebut tak langsung menimbulkan kericuhan dan masyarakat masih terlihat tenang.
Banyak juga masyarakat yang mengaku tidak paham apa yang akan terjadi jika negaranya gagal membayar utang.
"Memang banyak ketidakpastian, tapi saya tidak terlalu paham apa yang terjadi dan apa dampaknya. Ya jalani saja," ungkap salah seorang penjaga toko di Argentina, Liliana Suaya.
Biarpun tak terlalu paham, tapi masyarakat sangat khawatir akan kehilangan pekerjaan dan naiknya harga barang. (Sis/Nrm)