Jokowi Diminta Perhatikan Nasib Pengusaha Rokok Kretek

Pengusaha meminta pemerintahan yang baru tetap memperjuangkan eksistensi produk kretek di Indonesia maupun dunia

oleh Nurmayanti diperbarui 04 Nov 2014, 10:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2014, 10:00 WIB
Proses pelintingan sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah industri rokok di Kediri, Jatim. Saat ini tinggal 75 industri rokok yang bertahan akibat tarif cukai tembakau naik setiap tahunnya. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha berharap banyak pada Kabinet Kerja di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla. Salah satunya para pelaku usaha rokok kretek dan petani tembakau yang ingin agar pemerintah memperhatikan nasibnya.   

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Sumiran meminta pemerintahan yang baru tetap memperjuangkan eksistensi produk kretek di Indonesia maupun dunia. Hal ini mengingat kontribusi industri ini sangat besar.

“Tidak ada industri yang punya ciri khas seperti industri kretek ini. Kami berharap pemerintahan baru memahami karakteristik kretek sebagai produk bangsa yang punya nilai budaya tinggi,” kata Ismanu di Jakarta, Selasa (4/11/2014).   
Dia pun meminta dalam menelurkan program-program, tidak ada lagi ego sektoral kementerian-kementerian pemerintah. Salah satunya yang dihindari adalah upaya untuk memberangus usaha rakyat ini dengan alasan kebijakan kesehatan.  

“Sebelumnya ego program kesehatan begitu kuat. Ada kepentingan dagang dibalik itu, misalnya keinginan industri farmasi asing untuk masuk serta pemain rokok asing yang tidak ingin tersaingi dengan kretek khas Indonesia,” katanya.

Industri ini, tambah Ismanu menyumbang sebanyak 4,1 juta tenaga kerja langsung. Belum lagi rantai ekonomi dari petani tembakau sampai pedagang pengecer. “Industri kretek itu berkontribusi terhadap tenaga kerja dan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),” ujarnya.

Ia juga meminta jangan sampai Jokowi meratifikasi berbagai aturan internasional seperti Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan penerapan cukai rokok yang berlebihan.

“Penerapan perda dan cukai yang berlebih justru merugikan, terapkan saja aturan yang sudah ada kami patuh terhadap aturan,” tegasnya.  
     
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI)  Suryana  menyampaikan, 30 juta petani di seluruh dunia secara tegas menolak pengaksesan FCTC, dan mendukung penuh Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi FCTC.

FCTC mengancam dan mengabaikan hak perekonomian petani tembakau. Salah satu ancaman pengendalian tembakau adalah larangan penggunaan bahan tambahan, termasuk penggunaan cengkeh dan penerapan kemasan rokok polos (packaging).

Jika pengendalian tembakau diterapkan, dampaknya akan negatif bagi kondisi sosial dan ekonomi masyakarat yang sudah menanam tembakau secara turun-temurun sejak nenek moyang mereka.

Suryana menjelaskan, Pemerintah Indonesia saat ini tengah melakukan upaya-upaya dalam melindungi sektor tembakau nasional dan memperjuangkan akses pasar produk tembakau Indonesia di pasar internasional.

Bahkan, APTI memiliki keyakinan bahwa Pemerintah Indonesia akan memenangkan kasus sengketa dagang di World Trade Organizaton (WTO), terkait kebijakan kemasan rokok polos yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

"Jika kebijakan WTO kita diamkan, maka Indonesia juga akan terkena dampaknya, dan terpaksa menerapkan kebijakan kemasan rokok polos," ungkap dia.(Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya