Industri Tekstil Tolak Perpanjangan Bea Masuk Anti Dumping PSF

API keberatan dengan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BAMD) PSF dalam rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 24 Agu 2015, 21:08 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2015, 21:08 WIB
 Permintaan Pengusaha Tekstil Pada Jokowi
API keberatan dengan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BAMD) PSF dalam rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan penolakannya terhadap rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang memperpanjang sunset review atas Impor Polyester Staple Fiber (PSF) yang dikeluarkannya pada 24 Juli yang lalu.

Rekomendasi tersebut di antaranya sunset review atas impor PSF dari India, China dan Taiwan serta Interim Review atas impor PSF dari China.

Sekretaris Jenderal API, Ernovian G Ismy mengatakan, API keberatan dengan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BAMD) PSF dalam rekomendasi tersebut. Pasalnya bea masuk yangd dikenakan begitu besar sehingga hanya akan merugikan industri benang atau spinners dan hilir tekstil dalam negeri.

"Tindakan KADI tersebut hanya memberikan implikasi ketidakpastian usaha dalam negeri termasuk kepastian investasi dan bahkan menimbulkan retaliasi dari negara-negara tujuan ekspor Indonesia dengan melakukan hal yang sama terhadap produsen Indonesia yang tidak terbukti dumping," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (24/8/2015).

Menurut Ismy, langkah KADI tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan antara lain Peratuan Pemerintah (PP) No.34 tahun 2011, Permendag No.76/M-DAG/PER/12/2012, WTO Anti-Dumping Agreement dan Praktik Investigasi KADI sendiri yang mana inti dari aturan-aturan itu bahwa penyelidikan penyelidikan anti-dumping harus segera diakhir dan atau tidak dapat dilakukan terhadap produsen yang tidak terbukti dumping atau de minimes pada penelitian awal.

Dengan demikian, tindakan KADI yang memaksakan untuk interim review dan sunset review terhadap 5 produsen China yang tidak terbukti dumping dan bahkan mengenakan dumping margin sampai dengan 17 persen hingga 58 persen sangat tidak berdasar, diskriminatif dan bertentangan dengan persyarat internasional.

Ismy juga mengungkapkan, penerapan BMAD selama 5 tahun sejak 2010-2015 telah memberikan proteksi yang cukup kepada industri dalam negeri serta memulihkan kerugian yang diderita sebelumnya. API mencatat bahwa pemohon melakukan ekspansi kapasitas secara signifikan selama periode pengenaan BMAD.

"Hal ini membuktikan bahwa industri dalam negeri tidak lagi mengalami kerugian dan karenanya penerapan BMAD tidak perlu diperpanjang," kata dia.

Hal ini juga semakin diparah dengan kondisi produsen PSF di Indonesia yang umumnya terintegrasi secara vertikal dengan cabang industri tekstil lainnya, khususnya dengan fasilitas produksi benang.

Maka dengan perpanjangan BMAD ini hanya mempersulit produsen benang lokal yang tidak memiiliki fasilitas produksi PSF yang mana mereka sangat sulit bersaing dengan pemohon yang terintergrasi secara vertical.

"Kami akan kehilangan pasar benang di China dan Vietnam sebesar 30 persen hingga 40 persen karena harga kita mahal. Kalau di China saja, kita bisa kehilangan US$ 500 juta karena China butuh benang kita yang berkualitas. China pasar yang besar dan dia akan cari dari yang lain," jelasnya.

Oleh sebab itu, Isma meminta agar KADI tidak hanya mempertimbangkan kepentingan pemohon yang dalam hal ini Indorama dan Asia Pasific Fiber dan produsen PSF dalam negeri lainnya Tifico tetapi juga berpikir dari sisi API-nya. Rekomendasi yang dikeluarkan jangan hanya memberikan proteksi yang berlebihan tetapi di sisi lain mematikan industri hilir.

"Perlu dipikirkan bahwa jumlah industri hilir yang terkena imbas negatif dari langkah tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemohon. KADI tidak perlu memasukan kelima produsen PSF RRT yang tidak terbukti dumping pada penyelidikan awal serta tidak melanjutkan pengenaan BMAD atas impor PSF," tandasnya. (Dny/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya