Perbandingan Harga Gas RI di Antara Negara ASEAN

Harga gas di Indonesia ini dinilai menjadi yang termahal di antara negara-negara tetangga. Sehingga dampaknya, industri nasional sulit bersa

oleh Septian Deny diperbarui 05 Okt 2015, 20:33 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2015, 20:33 WIB
Ilustrasi pipa gas
ilustrasi pipa Gas

Liputan6.com, Jakarta - Harga gas dinilai masih jadi salah satu penghambat pertumbuhan sektor industri nasional. Pasalnya, harga gas industridi Indonesia saat ini menyentuh angka US$ 9-US$ 10 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU).

Bahkan harga gas di Indonesia ini dinilai menjadi yang termahal di antara negara-negara tetangga. Sehingga dampaknya, industri nasional sulit bersaing dengan negara lain.

Pengamat energi dari Energy Watch Indonesia Mamit Setiawan mengungkapkan, saat ini harga gas industri di Singapura sekitar US$ 4-US$ 5 per MMBTU, Malaysia US$ 4,47 per MMBTU, Filipina US$ 5,43 per MMBTU dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMBTU.

Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan harga gas di RI mahal. Pertama, karena pembelian harga gas dari hulu atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sudah tinggi, bahkan untuk saat ini sudah menyentuh angka US$ 6-US$ 8 per MMBTU.

Kedua, karena Indonesia merupakan negara dengan area yang luas dan kepulauan di mana dalam pembangunan infrastruktur membutuhkan investasi yang cukup mahal. Jadi investor pasti akan memasukkan investasi dalam salah satu komponen harga mereka.

"Walaupun saat ini harga gas bumi sebenarnya otonom, tetapi tetap dikendalikan oleh pemerintah," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10/2015).

Ketiga, adanya Permen Nomor 19 Tahun 2009 tentang kegiatan gas bumi melalui pipa. Permen tersebut diduga menghasilkan badan usaha niaga atau trader yang hanya bermodalkan kertas tanpa ada kewajiban ataupun keinginan untuk mengembangkan infrastruktur.

Menurut Mamit, badan usaha niaga cenderung memanfaatkan jalur pipa yang sudah existing dengan hanya membayar toll fee kepada pemilik pipa. Ini yang menyebabkan infrastruktur pipanisasi dari 2010-2014 cenderung stagnan dan tidak ada investasi lagi.

"Para pemilik pipa existing juga tidak mau membangun, karena mereka merasa rugi karena hanya mendapatkan toll fee dan service fee," kata dia.

Mamit mengatakan, dengan harga gas yang cukup mahal di hulu maka otomatis harga yang di hilir dibanderol dengan harga yang mahal pula. Berdasarkan data 2005-2014 harga gas terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun US$ 1.58 USD per MMBTU-US$ 7 per MMBTU.

"Mahalnya harga di sektor hulu, karena memang investasi di hulu sangat besar dimulai dari kegiatan eksplorasi sampai produksi walaupun biaya tersebut akan diganti oleh negara dengan cost recovery," katanya.

Mahalnya harga gas industri juga diperparah dengan banyaknya tangan-tangan jahil yang memainkan harga gas tersebut.

Mamit menuturkan, pihak-pihak yang bermain di sektor hulu hanya KKKS. Mereka juga dalam menentukan harga masih dikawal oleh SKK Migas. Kecuali memang ada pihak-pihak tertentu di luar sistem bisa melakukan influence ke SKK Migas maupun KKKS.

"Yang banyak terjadi permainan justru di sektor hilir, di mana banyak trader yang hanya bermodalkan kertas bisa mendapatkan alokasi gas untuk industri karena ada kedekatan dengan pihak-pihak tertentu," tandasnya. (Dny/Zul)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya