Ini Tantangan Ekonomi Indonesia di 2016 versi BI

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) cukup rendah atau mendekati nol persen selama 7 tahun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Nov 2015, 17:00 WIB
Diterbitkan 26 Nov 2015, 17:00 WIB
20151117-Gubernur BI Gelar Konferensi Pers Triwulan III Bank Indonesia
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo (depan) usai menggelar konferensi pers Triwulan III Bank Indonesia di Gedung BI, Jakarta, (17/11/2015). (Liputan6.com/Angga Yunia)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memperingatkan beberapa faktor global yang akan ‎menghantui perekonomian Indonesia tahun depan. Faktor tersebut, rencana kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserves, pelemahan ekonomi China, penurunan harga komoditas dan potensi keluarnya aliran modal dari Indonesia ke negara lain.

Gubernur BI, Agus DW Martowardojo mengungkapkan, perekonomian Amerika Serikat (AS) dalam kondisi rendah atau mendekati nol persen selama 7 tahun. Selama itu pula, AS telah menggelontorkan dana hingga US$ 3,5 triliun untuk memulihkan perekonomiannya. Setelah melihat faktanya perekonomian AS meningkat, Fed Fund Rate (FFR) berencana naik di akhir tahun ini.

"Tapi yang perlu diwaspadai adalah kondisi perekonomian China yang mengalami penurunan terus selama 2 tahun terakhir dari sebelumnya bertumbuh rata-rata 10,4 persen‎ selama 10 tahun. Dalam 5 tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi China bahkan diprediksi hanya 6,5 persen dan bisa lebih rendah," ujarnya di acara Kompas CEO Forum, Jakarta, Kamis (26/11/2015).


Lebih jauh dijelaskan Agus, kondisi pelemahan ekonomi China akan mengganggu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mantan Menteri Keuangan itu menghitung, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,4-0,6 persen apabila pertumbuhan ekonomi China turun 1 persen.

Hal lain yang perlu diwaspadai, katanya, pengumuman Renminbi China sebagai mata uang internasional pada akhir November ini. Pasalnya langkah Renminbi menjadi salah satu mata uang dunia, artinya pengelolaan capital account China terbuka dan pengelolaan moneter independen.

"Jadi ada kemungkinan ‎Renminbi bisa dilemahkan lagi. Karena ketika Renminbi dilemahkan 2-3 persen, dampaknya cukup besar. Kita harus siap jika Renminbi lebih fleksibel dan ekonomi melemah," paparnya.


Indonesia, diakui Agus, mesti berhati-hati dengan pelemahan harga komoditas mengingat terjadi defisit transaksi berjalan selama 3 tahun akibat harga jual komoditas yang turun. Ia memperkirakan, harga komoditas merosot rata-rata 11 persen di tahun ini. Namun faktanya anjlok 15 persen.

"Sedangkan prediksi tahun depan, harga komoditas menurun 5 persen, meskipun proyeksi dunia turun 9 persen di 2016 sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan terkoreksi dari ramalan 3,5 persen-3,6 persen di tahun depan," paparnya.

Kondisi ini, lanjut Agus, akan diiringi dengan pelonggaran moneter di Jepang, Eropa lewat penggelontoran dana di saat AS mengambil kebijakan pengetatan moneter. ‎"Jadi kita perlu hati-hati, pelemahan ekonomi dunia, perlambatan ekonomi China, harga komoditas, kenaikan Fed Fund Rate,secara gradual sehingga muncul risiko lain dana yang ada di dunia akan mengalir keluar dan memberi tekanan terhadap Indonesia," jelas Agus. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya