Intip Cara KPPU Buat Tekan Harga Obat

Untuk menekan harga obat, Indonesia perlu menggunakan instrumen World Trade Organisation (WTO)‎.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 11 Jan 2016, 17:45 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2016, 17:45 WIB
Daftar Obat yang Wajib Dibawa Saat Traveling
Untuk menekan harga obat, Indonesia perlu menggunakan instrumen World Trade Organisation (WTO)‎.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menginginkan har obat bisa terjangkau semua kalangan sehingga beban masyarakat bisa lebih ringan. Keinginan dari KPPU ini untuk melaksanakan perintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menciptakan biaya pengobatan yang murah.

Ketua KPPU, Syarkawi Rauf menjelaskan, Presiden Joko Widodo pernah mempertanyakan kepada KPPU mengapa harga obat di dalam negeri jauh lebih mahal jika dibanding dengan di negara lain. Jokowi mencontohkan, di Amerika harga obat Hepatitis C mencapai US$ 100 per butir. Sedangkan di Indonesia bisa berkali lipat.  "Ini bagaimana caranya agar di Indonesia juga bisa lebih murah," jelas Syarkawi, di Kantor KPPU, Jakarta, Senin (11/1/2015).

Untuk menekan harga obat, Indonesia perlu menggunakan instrumen World Trade Organisation (WTO)‎‎, dengan memanfaatkan kesempatan memproduksi obat paten. Pemerintah bisa menginstruksikan Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memproduksinya. "Instrumen WTO untuk memproduksi obat paten yang bisa membuat harga mahal jadi murah," tutur Syarkawi.

Pemerintah telah memiliki landasan‎ hukum untuk menerapkan usulan tersebut, namun cakupannya obat yang diproduksi perlu diperluas agar jenis obat yang harganya murah bisa lebih banyak. "Di Indonesia Peraturan Presiden sudah ada di zaman Presiden Megawatiuntuk dua jenis penyakit HIV dan Hepatitis D, 2015 kemarin kami menyarankan pemerintah memperluas cakupan penyakit," ungkapnya.

Selain itu, ‎apoteker yang melayani masyarakat di aportik wajib memberi pilihan obat ke konsumen dengan harga obat yang bervariasi, sehingga masyarakat bisa mendapat obat yang lebih murah.

"Mengubah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 tentang apoteker. Jadi Apoteker dapat memberikan pilihan obat ke konsumen sesuai dengan resep dari dokter. Biasnya dokter kasih satu brand obat, kita ingin apoteker memberikan pilihan banyak. Sehingga konsumen memilih sesuai dengan kemapuan dan sesuai penyakit," pungkasnya.

Sebelumnya, Syarkawi sempat mengungkapkan bahwa harga obat di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di Malaysia. Alasannya, di Indonesia tidak ada regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi untuk obat generik bermerek maupun obat paten.

Dia menuturkan, ‎regulasi tersebut harus ada sehingga industri obat di Indonesia tidak menetapkan sendiri harga obatnya‎.

"Harusnya ini ada regulasinya. Misalnya, untuk obat generik bermerek maksimum harganya itu adalah 2 kali dari harga generiknya. Atau harga obat patennya maksimum katakanlah tiga kali atau empat kali dari harga obat generiknya," jelas Syarkawi. (Pew/Gdn)


**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya