Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan mata uang rupiah, salah satunya dipicu oleh kejomplangan antara suplai dan permintaan dolar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri. Pemerintah dapat membantu Bank Indonesia (BI) untuk menambah pasokan dolar AS dengan berutang.Â
Lalu bagaimana dengan BI? Apa Bank Sentral punya jalan keluar, selain menggelontorkan cadangan devisa (cadev) untuk menstabilisasi kurs rupiah?
Â
Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih mengungkapkan, pemerintah telah melakukan penarikan pinjaman di awal atau pra pembiayaan (prefunding) 2016 di akhir tahun lalu. Hal ini dilakukan karena BI tidak dapat menerbitkan surat utang.Â
Â
"BI tidak bisa mengeluarkan surat utang lho. BI bisa minta utang dari IMF, tapi itu bahaya imej-nya. Utang dari IMF paling dihindari oleh BI," tegas Lana saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (15/1/2016).Â
Baca Juga
Padahal, kata Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia itu, IMF merupakan sumber terakhir bagi sebuah negara atau Bank Sentral di seluruh dunia untuk bisa mendapatkan likuiditas. "IMF adalah lander of the last resource dari semua Bank Sentral dunia," ucap Lana    Â
Â
Sayangnya, dijelaskan Lana, negara atau Bank Sentral yang berutang kepada IMF selalu dicap buruk oleh pelaku pasar bahkan negara lain. Konotasinya buruk, karena dianggap negara itu bangkrut.Â
Â
"Konotasinya kalau pinjam uang dari IMF, itu artinya bangkrut, jelek. Jadi imejnya negatif hampir di semua negara. Karena kalau sudah bangkrut, tidak punya uang, sudah kepepet baru ke IMF. Makanya pas Yunani dapat bailout (dana talangan) dari IMF, imejnya negatif, karena sudah kepepet," terangnya.Â
Â
Ia mengatakan bahwa berutang ke IMF sah-sah saja selagi masih sanggup membayar kewajiban. Dan diakui Lana, Indonesia telah melunasi utang ke IMF. "Sebenarnya tidak apa pinjam ke IMF, asal bayar. Dan kita bayar kok, utang IMF kita kan sudah lunas," jelas Lana.Â
Â
Masih segar dalam ingatan saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Indonesia masih berutang ke IMF. Pernyataan itu bahkan sampai memantik tanggapan dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menegaskan bahwa Indonesia telah melunasi seluruh utang ke IMF pada 2006. Nilai keseluruh utang itu US$ 9,1 miliar.Â
Â
BI pun menegaskan posisi kewajiban sebesar US$ 2,8 miliar kepada IMF bukan merupakan pinjaman yang selama ini dikenal.
Â
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara menuturkan, kewajiban itu merupakan alokasi Special Drawing Rights (SDR). Alokasi SDR yang timbul itu sebagai konsekuensi sebagai anggota IMF. Seluruh anggota IMF mendapatkan alokasi SDR tersebut.
Â
SDR ini merupakan aset cadangan internasional yang diciptakan IMF pada 1969 untuk melengkapi cadangan resmi yang ada pada negara-negara anggota. SDR ini berfungsi sebagai unit rekening IMF dan beberapa organisasi internasional lainnya.
Â
"Sebagai anggota IMF, kita membayar iuran sehingga kita memperoleh alokasi SDR sesuai kuota dan dicatat sebagai bagian cadangan devisa. Secara teknis pencatatan, alokasi itu juga dicatat sebagai kewajiban kita," ujar Tirta.
Â
Ia mengatakan, pencatatan teknis alokasi SDR itu dilakukan di kewajiban pada IMF sejak 2009. Hal ini juga dilakukan oleh seluruh anggota IMF.Â
Â
"Karena ini alokasi sebagai konsekuensi keanggotaan maka akan tetap muncul sepanjang kita masih jadi anggota," ujar Tirta.
Â
Ia menambahkan, hal ini berbeda dengan pinjaman ketika krisis 1998 yang memang dapat dilunasi setelah Indonesia mempunyai kemampuan tanpa harus keluar dari keanggotaan. Sementara itu, utang Indonesia kepada IMF saat tahun 1998 dilakukan untuk kebutuhan neraca pembayaran yang tergerus akibat krisis.Â
Â
"Pinjaman US$ 9,1 miliar pada 1998 itu telah dilunasi seluruhnya pada 2006," kata Tirta. (Fik/Ndw)