Kadin Minta Pelindo II Cabut Kenaikan Tarif Progresif Kontainer

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak pengenaan tarif progresif penimbunan kontainer.

oleh Septian Deny diperbarui 17 Mar 2016, 19:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2016, 19:00 WIB
Aktivitas Bongkar Muat di JICT Tanjung Priok
Sebuah Kapal container bersandar di pelabuhan JICT, Jakarta Utara, Rabu (25/3/2015).Pelindo II mencatat waktu tunggu pelayanan kapal dan barang sudah mendekati target pemerintah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menolak pengenaan tarif progresif penimbunan kontainer sebesar 900 persen terhitung 1 Maret 2016. Kenaikan itu didasarkan pada surat keputusan direksi PT Pelindo II, Nomor HK.568/23/2/1/PI.II tentang tarif pelayanan jasa peti kemas pada terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan Rico Rustombi mendesak manajemen PT Pelindo II (Persero) untuk segera mencabut surat keputusan itu. Pasalnya aturan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan biaya logistik yang semakin tinggi.

Dia bahkan mengatakan akan mengambil langkah-langkah yang efektif dan melakukan pengaduan secara resmi kepada Presiden Jo‎ko Widodo (Jokowi) dan DPR.

Rico menjelaskan, sikap untuk melakukan penolakan ini diambil setelah mendengar keluhan dan konsolidasi serta kajian mendalam dengan 15 asosiasi pengguna jasa pelabuhan‎. Ke-15 asosiasi itu meliputi AISI, GAIKINDO, APBI-BAN, APRISINDO, API, GPEI, HKI, APINDO, GB-Elektronika, APJP, ALI, APSYFI, AMKRI dan Gakeslab.

Asosiasi-asosiasi tersebut, lanjut dia, telah bersepakat bahwa penerapan tarif progresif 900 persen pada hari kedua setelah kapal sandar di pelabuhan akan mengakibatkan kenaikan biaya logistik. Sementara pekerjaan bongkar muat peti kemas oleh Pelindo memakan waktu 4-5 jam. Rata-rata waktu kedatangan kapal pukul 10.00-11.00 malam, lewat pukul 12.00 malam sudah dikenakan tarif progresif.

"Kadin tidak sepakat dengan beleid atau pengenaan tarif progresif 900 persen. Ini melukai rasa keadilan pengguna jasa di pelabuhan, karena biaya logistik jadi tinggi. Dampak pemberlakuan sudah dirasakan pengusaha," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (17/3/2016).

Rico mengungkapkan, tarif 900 persen dikenakan kepada pengguna jasa pelabuhan pada hari kedua. Detailnya, untuk hari pertama tidak dipungut tarif pelayanan jasa penumpukan. Kemudian baru berlaku ketika memasuki hari kedua dan seterusnya, dihitung per hari sebesar 900 persen dari tarif dasar.

"Sebelumnya tiga hari pertama free, hari keempat dikenakan 500 persen, hari ketujuh dipungut 750 persen. Itu tidak kita ganggu, tapi sekarang menjadi hari kedua sebesar 900 persen. Belum lagi ada penalti atas penumpukan barang. Jadi sudah naik tinggi tarifnya, terus kita juga dikenakan penalti atau denda," jelas dia.

Menurutnya, aturan ini jelas bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 117 Tahun 2015 tentang relokasi barang atau peti kemas di Tanjung Priok. Dalam Pasal 3, menyebutkan pemilik barang atau importir mendapat kelonggaran menumpuk barang ‎di pelabuhan tiga hari.

"Ini jelas tidak sinkron, dan tidak sesuai dengan arahan Pak Jokowi. Kalau tujuannya mau menurunkan dwelling time (waktu bongkar muat kapal) bukan dengan menaikkan tarif, karena malah bikin biaya logistik mahal. Dwelling time bisa turun dengan simplifikasi aturan, bangun infrastruktur dan lainnya," ungkapnya.

Selain itu dia juga beranggapan, penetapan tarif ini bukan ditujukan untuk menyelesaikan masalah dwelling time di pelabuhan. Rico menduga hal ini dilakukan karena Pelindo II hanya ingin mendapatkan keuntungan besar dari kebijakan yang telah diterbitkan.

"Jangan demi mengejar dwelling time, lantas membuat peraturan kenaikan tarif tanpa memperhatikan daya saing kita di dalam negeri. Keputusan seperti ini sangat melukai keadilan ekonomi dan bukan win-win solution," tandasnya. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya