Pengembang Minta Penurunan Uang Muka Rumah Lebih Besar

BI melonggarkan LTV/FTV untuk rumah tapak tipe >70 meter persegi dari sebelumnya 80 persen untuk rumah pertama menjadi 85 persen.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 17 Jun 2016, 21:32 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2016, 21:32 WIB
Uang Muka Rumah
BI melonggarkan LTV/FTV untuk rumah tapak tipe >70 meter persegi dari sebelumnya 80 persen untuk rumah pertama menjadi 85 persen.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi pengembang Realestat Indonesia (REI) berharap pelonggaran uang muka pembelian rumah atau disebut Loan to Value Ratio (LTV) bisa lebih besar sehingga mampu mendorong pembelian properti.

Pelonggaran LTV atau Financing to Value (FTV) yang dilakukan BI saat ini, dianggap terlalu kecil sehingga tak mampu mendorong daya beli masyarakat yang terlanjur lemah.

Sebagaimana diketahui, BI melonggarkan LTV/FTV untuk rumah tapak tipe >70 meter persegi dari sebelumnya 80 persen untuk rumah pertama menjadi 85 persen. Dengan begitu, uang muka rumah hanya sebesar 15 persen. Ketentuan yang baru ini berlaku pada Agustus 2016.


Ketua Umum REI Eddy Hussy mengatakan, pengembang membutuhkan stimulus lebih untuk mendorong properti. BI seharusnya melonggarkan LTV/FTV mencapai 90 persen.

"‎Mungkin LTV 90 persen rumah pertama, rumah kedua 80 persen," kata dia di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Jakarta, Jumat (17/6/2016).

‎Dia juga meminta adanya pelonggaran yang lebih untuk kredit dengan mekanisme inden. Menurut Eddy, seharusnya BI tidak memberikan batasan hanya sampai pembiayaan rumah ke dua.

Alasannya, pembiayaan inden sangat membantu aliran dana pengembang. Di sisi lain, konsumen diuntungkan karena membeli properti dengan harga murah.

‎"Karena KPR inden ini sangat membantu cash flow pengembang, dan membantu dari sisi konsumen di mana mereka kalau membeli properti itu lebih awal sebelum jadi kan harganya lebih murah ketimbang propertinya sudah jadi. Terus bagi perbankan membantu karena itu akan memberi jaminan kepada bank bahwa apa yang dibangun bank sudah ada pembelinya," jelas dia.

Tak berhenti di situ, Eddy juga berharap adanya ketentuan terkait ‎juru ukur (appraiser).  ‎‎"Kami berharap appraisernya untuk harga di bawah Rp 5 miliar boleh pakai inhouse dari bank sendiri tidak perlu dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) karena itu menambah cost cukup tinggi daerah-daerah yang jauh di mana tidak ada KJPP," tutup dia.(Amd/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya