Pemerintah Kaji Opsi Lembaga Pengganti SKK Migas

Wamen ESDM Arcandra Tahar menuturkan, gugatan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas harus dijadikan pengalaman revisi UU Migas.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 01 Nov 2016, 17:44 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2016, 17:44 WIB
20160324-SKK Migas-AY
Kantor SKK Migas di Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menegaskan pemerintah sedang mencari bentuk lembaga pengganti satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Arcandra menuturkan, kondisi usaha migas dalam beberapa taun terakhir sangat rendah. Hal itu tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal atas penurunan harga minyak dunia,tetapi juga internal.

Salah satunya belum ada lembaga definitif setelah Badan Pengatur Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) dibubarkan Mahkamah Konstitusi (MK). Ada pun, SKK Migas yang dibentuk untuk gantikan peran BP Migas hanya bersifat sementara.

"Sektor hulu migas pasca-putusan MK sampai sekarang belum ada pengaturan definitif terkait tata kelola migas di sektor hulu yang bisa menjawab hal yang diputuskan MK," kata Arcandra, dalam Rakernas Kadin, bidang energi, di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (1/11/2016).

Arcandra menuturkan, perbaikan tata kelola hulu sedang dilakukan yaitu memikirkan lembaga pengganti SKK Migas ke depannya. Berdasarkan putusan MK pembentukan lembaga pengganti SKK Migas harus berpedoman pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dia menyebutkan, ada dua pilihan bentuk lembaga pengganti SKK Migas, yaitu di bawah PT Pertamina (Persero) atau terpisah dari Pertamina. Keduanya sudah ada contoh di negara lain.

"National oil company harus diperkuat. Apakah SKK Migas ada di bawah Pertamina atau dipisah. Kedua model ini ada di dunia,"‎ ujar Arcandra.

Arcandra mengungkapkan, digugatnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas harus dijadikan pengalaman dalam merevisi UU migas. Ini dilakukan agar UU Migas yang baru tidak mengalami nasib sama.

"Dari pengalaman Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Tentunya kita tidak ingin hasil revisinya mengalami nasib yang sama yaitu judicial review sampai tiga kali," tutur Arcandra. (Pew/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya