Liputan6.com, Jakarta - Seminar nasional bertajuk "Tantangan Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Dari Masa ke Masa" mempersatukan tiga menteri keuangan (menkeu) di era pemerintahan masing-masing. Tiga menkeu itu antara lain: Boediono (2001-2004), Chatib Basri (2013-2014), dan Sri Mulyani Indrawati (2005-2010 dan 2016-sekarang).
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Marwanto Harjowiryono, mengungkapkan seminar tersebut merupakan rangkaian peringatan Hari Oeang ke-70 yang telah diselenggarakan Oktober lalu.
"Ini adalah ajang untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi pengalaman mengelola keuangan negara untuk terus berbakti bagi negara," ujar dia saat mengawali Seminar Nasional, Jakarta, Rabu (30/11/2016).
Sementara itu, Boediono yang juga mantan Wakil Presiden RI menuturkan, seminar ini bertujuan membangun nilai pengetahuan di dalam institusi Kemenkeu untuk melaksanakan tugas dengan baik.
Baca Juga
"Trennya saat ini mesin yang semakin cerdas, sementara lembaga atau institusi yang berisikan sumber daya manusia terpilih harus mampu lebih cerdas dengan pengetahuan," kata Boediono.
Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan peranan penting Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen dalam mengelola ekonomi Indonesia. Tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, mengurangi kesenjangan, kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas serta daya saing.
Sri Mulyani mengatakan, negara Indonesia dibangun dengan tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Dua dimensi yang sangat penting saat mengelola kebijakan dan menggunakan instrumen dalam pengelolaan ekonomi nasional.
Bagi pemerintah, banyak instrumen untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, mengurangi kesenjangan, dan kemiskinan. Salah satu instrumen yang luar biasa penting adalah APBN atau istilahnya kebijakan fiskal," ucap dia.
Sri Mulyani menceritakan kondisi ketidakpastian global akibat beberapa fenomena terakhir. Di antaranya terpilihnya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, jelang pemilu dari berbagai negara, seperti Jerman, Prancis, dan referendum di Italia yang akan mengubah arah kebijakan dari masing-masing negara tersebut.
Ia mengatakan bayang-bayang ketidakpastian ekonomi dunia juga terpengaruh dari Tiongkok. Negara ini berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi sambil mengatasi struktural di dalam ketimpangan, polusi, dan daya saing di kancah global.
"Pertumbuhan ekonomi dunia melemah selama dua dekade terakhir karena permintaan dan harga komoditas turun tajam. Booming komoditas ini sebelumnya dinikmati perekonomian Indonesia, tapi karena harganya turun, sekarang berpengaruh ke ekonomi kita," tutur Sri Mulyani.
Dia menambahkan, pertumbuhan ekspor terjun bebas pada periode 2013-2016. Pertumbuhannya negatif secara berturut-turut kuartal per kuartal. Meskipun akibat harga komoditas anjlok dan berimbas pada sektor lainnya, ekonomi Indonesia masih mampu bertumbuh di atas 5 persen karena pemerintah menjaga sumber konsumsi dalam negeri.
"Kita masih punya daya tarik investasi yang besar, tapi sayangnya kita punya masalah dengan kesenjangan infrastruktur karena pembangunan belum berjalan. Sehingga APBN harus dikelola dengan baik untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur ini," Sri Mulyani menerangkan.
Pada 2016, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mengoreksi penerimaan negara dengan estimasi penerimaan pajak mengalami shortfall sebesar Rp 219 triliun. Dengan demikian, sampai akhir tahun, penerimaan negara diproyeksikan Rp 1.320 triliun atau lebih rendah dari target.
Sementara belanja negara diperkirakan Rp 1.900 triliun dan defisit fiskal melebar menjadi 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 338 triliun.
Ia menjelaskan, pemerintah mematok asumsi makro 2017, yakni pertumbuhan ekonomi 5,1 persen, inflasi 4 persen, SPN 3 bulan sebesar 5,3 persen, kurs rupiah 13.300 per dolar AS, ICP US$ 45 per barel, lifting minyak 815 ribu barel per hari, dan lifting gas 1,1 juta barel per hari.
Penerimaan pajak nonmigas tahun depan ditargetkan Rp 1.271 triliun atau tumbuh 15 persen dari tahun ini. Sementara total penerimaan perpajakan Rp 1.495,9 triliun atau 13 persen. Defisit anggaran dipatok 2,41 persen dari PDB.
"Arah kebijakan masih sama membuat APBN sebagai stimulus melindungi kelompok miskin, investasi infrastruktur, dan sumber daya manusia. Ini adalah resep untuk memperbaiki ekonomi Indonesia agar makin kuat saat ekonomi tidak pasti," ucap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
"APBN bisa efektif kalau semua masyarakat ikut memelihara APBN. Dibelanjakan dengan benar, jangan boros, jangan dikorupsi, sehingga APBN dapat menjadi instrumen ampuh yang membawa Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur," tutur Sri Mulyani. (Fik/Ahm)
Advertisement